Cari di Website Ini

Kamis, 11 Agustus 2011

Konsep Pengurangan Risiko Bencana dengan Penataan Ruang



I. PENDAHULUAN

“ring of fire” (sebutan untuk rangkaian gunung api di pasifik), dengan vulkanisme aktif dari Sumatera Utara hingga Kepulauan Timur Indonesia. Posisi geologis Indonesia sendiri terletak pada pertemuan beberapa lempeng tektonik aktif yang membawa implikasi terhadap kemungkinan bencana alam. Sekitar 70% gempabumi tektonik terjadi di dasar laut yang berpotensial menyebabkan tsunami (tsunamigenik).


Sebagai konsekuensi perkembangan kegiatan sosial-ekonomi global, banyak daerah pesisir di Indonesia yang terkategori rawan tsunami dan bencana kegempaan berkembang dengan cepat yang terindikasi dari besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, yang ditandai dengan besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir.

Mendasarkan pada hal tersebut, maka hal yang perlu dilakukan adalah dengan tidak mengalokasikan pembangunan infrastruktur dan sistem utilitas pada zona rawan tsunami dan kegempaan yang menyertainya. Infrastruktur jalan, sekolah, perkantoran, rumah sakit, dll yang mempunyai peran strategis bagi masyarakat secara spasial harus teralokasi pada ruang yang aman dari bahaya kebencanaan. Selain itu, hotel, penginapan dan fasilitas akomodasi lainnya juga perlu ditempatkan pada lokasi-lokasi yang aman dari bencana, sesuai dengan prosedur evakuasi untuk memberikan rasa aman kepada para tamunya.



II. PENATAAN RUANG BERBASIS MITIGASI BENCANA PADA KAWASAN PESISIR

Pengembangan wilayah secara keruangan perlu memperhatikan kendala pengembangan secara fisik, terutama terhadap resiko terjadinya bencana alam. Untuk mengembangkan kawasan-kawasan yang memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana alam pengembangan kawasan perlu disertai dengan konsep Mitigasi Bencana, sehingga dampak-dampak akibat terjadinya bencana alam dapat diminimalisasi meskipun bencana tersebut tidak dapat dihindari/dicegah untuk masa yang akan datang. Dengan demikian, kerugian ataupun jumlah korban akibat bencana dapat dikurangi (risk reduction).

Melalui kegiatan penataan ruang, maka arahan mitigasi bencana dalam pengelolaan kawasan budidaya dapat diakomodasi dan menjadi dasar guideline development pembangunan berkelanjutan. Dengan melihat fakta bahwa negara Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat potensi tinggi terjadi bencana alam, maka rencana tata ruang melalui UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN telah memuat substansi terkait arahan mitigasi kebencanaan.

RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi terjadinya bencana, baik yang terjadi di darat, laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN, ditempuh pula kebijakan penataan ruang untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci. Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut:

Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.

Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya, seperti tsunami dan kegempaan yang menyertainya.

Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).

Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah - khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness campaign, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e) penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.

Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang sejalan/harmonis dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut:

Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir.

Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.

Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah

Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen, baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang seimbang antar unsur-unsur stakeholders.
Terkait aspek kebencanaan, PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) lebih lanjut memuat arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan, terutama kawasan rawan bencana alam perlu dirumuskan strategi penataan ruang untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi. Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis seperti diatas, diperlukan pula antisipasi dampak bencana tsunami dan gempa yang lebih bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka intervensi spasial terhadap kawasan pesisir yang memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tsunami dan gempa selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut:

Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat bencana tsunami dan gempa sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.

Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture); area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.

Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip (working with nature).


III. ISU-ISU UMUM PENATAAN RUANG BERBASIS MITIGASI BENCANA

Terkait kompleksitas persoalan bencana dalam dampak makro yang ditimbulkannya, maka kegiatan penataan ruang diperlukan sejalan dengan beberapa isu-isu umum terkait mitigasi bencana, sebagai berikut:

Belum terdapatnya peta-peta pendukung perencanaan yang berbasis kebencanaan

Belum mempertimbangkan aspek kebencanaan (tahap pra bencana, kejadian bencana, pasca bencana) yang ditunjang dengan belum lengkapnya data kebencanaan yang ada
Belum optimalnya koordinasi antar sektor terkait penanganan kebencanaan
Belum tersedianya peraturan dan perundangan beserta kebijakan mengenai penanganan bencana berskala nasional

Masih rendahnya pemahaman masyarakat dan aparat pemerintah dalam mensikapi kondisi alam dikawasan rawan bencana
Keberadaan pada berbagai zona kawasan bencana alam geologi (lempeng eurasia, samudra pasifik): terdapat pusat-pusat gempa, jalur gunung api aktif, dan potensi tsunami


IV. LINGKUP KEGIATAN PENATAAN RUANG BERBASIS MITIGASI BENCANA

Merumuskan indikasi kriteria-kriteria bencana alam, penyebab dan tingkat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan
Menyusun data-data informasi dengan survei dan diskusi dengan stakeholder terkait kebencanaan
Merumuskan kriteria lokasi-lokasi yang mempunyai resiko terjadinya bencana alam
Merumuskan langkah-langkah operasional untuk prioritas penanganan pada kawasan rawan bencana

Merumuskan kegiatan penataan ruang yang diperlukan pada kawasan rawan bencana
Pembahasan dengan Pemda setempat sebagai masukan untuk menyusun Standard Operasional Prosedur Penanganan Paska Bencana di bidang Penataan Ruang


V. MITIGASI BENCANA TSUNAMI

Mitigasi meliputi segala tindakan yang mencegah bahaya, mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya, dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan. Mitigasi adalah dasar manajemen situasi darurat, yang dapat didefinisikan sebagai: “aksi yang mengurangi atau menghilangkan resiko jangka panjang bahaya bencana alam dan akibatnya terhadap manusia dan harta benda (FEMA, 2000). Mitigasi adalah usaha yang dilakukan oleh segala pihak terkait pada tingkat negara, masyarakat dan individu.

Untuk mitigasi bencana tsunami atau untuk bencana alam lainnya, sangat diperlukan ketepatan dalam menilai kondisi alam yang terancam, merancang dan menerapkan teknik peringatan bahaya dan mempersiapkan daerah yang terancam untuk mengurangi dampak negatif dari bahaya tersebut. Ketiga langkah penting tersebut: 1) Penilaian Bahaya (Hazard Assessment), 2) Peringatan (Warning), 3) Persiapan (Preparadness) adalah unsur utama model mitigasi. Unsur kunci lainnya yang tidak terlibat langsung dalam mitigasi tetapi sangat mendukung adalah penelitian yang terkait (tsunami related research).

Dalam konteks penataan ruang, beberapa isu terkait dengan mitigasi bencana tsunami, yaitu:

Pengalaman penanggulangan bencana tsunami relatif baru (Tsunami Aceh dan Pangandaran/Cilacap).
Peta-peta rawan tsunami masih sangat terbatas dibanding panjangnya pantai Indonesia yang rawan tsunami
Prediksi pengaruh tsunami ke daratan susah diramalkan
Peta-peta pendukung perencanaan terkait tsunami masih belum tersedia secara luas
Perencanaan tata ruang Kabupaten/Kota belum mempertimbangkan risiko kebencanaan tsunami
Belum tersedianya peraturan dan perundangan terkait bencana tsunami skala nasional


Prinsip-prinsip Penataan Ruang untuk Mitigasi Bencana Tsunami

Mengidentifikasi batas jangkauan kawasan bencana tsunami
Mengenali morfologi (bentuk dan tipe) wilayah dan kaitannya dengan jangkauan limpasan tsunami dan gelombang pasang
Menetapkan kawasan konservasi pada daerah rawan bencana tsunami
Mengenali karakter sarana dan prasarana untuk meminimalisasi korban manusia dan kelumpuhan fungsi wilayah
Menyusun Perencanaan Tata Ruang untuk meminimalisasi risiko bencana tsunami

Konsep Zonasi Kawasan Aman Tsunami

Zona I: Zona Konservasi

Fungsi kegiatan langsung berhubungan dg laut dan ekosistem pesisir dan laut, seperti hutan mangrove, pertambakan, prasarana kelautan dan perikanan
Kegiatan tdk menciptakan perkembangan penduduk secara besar, seperti tempat latihan militer, pos keamanan, jalan dan perkebunan
Kegiatan tidak berperan penting pada kawasan skala luas
Zona II: Zona Penyangga

Fungsi kegiatan tidak secara langsung berhubungan dengan laut, tetapi berkaitan dengan produksi hasil laut dan perikanan seperti permukiman nelayan, industri hasil perikanan, wisata bahari

Tidak menciptakan kegiatan penduduk secara besar-besaran selama 24 jam, contoh perhotelan, pasar ikan, fasilitas lingkungan

Kegiatan tidak berperan penting pada kawasan skala luas
Zona III: Zona Bebas

Fungsi kegiatan tdk berhubungan langsung dgn laut, spt perkotaan, perindustrian, pemerintahan, perdagangan dan jasa
Kegiatan menciptakan munculnya perkembangan penduduk
Kegiatan berperan penting dalam skala luas, seperti kelistrikan, telekomunikasi, pemerintahan, logistik, dll.
A. Kegiatan pada PRA BENCANA

Tahap Perencanaan
Pemetaan micro zoning dan penetapan jaringan pergerakan menuju lokasi aman
Penataan Ruang kawasan pesisir yang tanggap bencana tsunami
Review RTRW untuk pengembangan tata ruang wilayah pesisir terkait
Pengadaan sarana prasarana penahan dampak tsunami di pesisir
Penyusunan zoning regulation dan disain bangunan penting di kawasan rawan tsunami
Penyusunan peraturan dan rencana tata bangunan dan lingkungan
Sosialisasi, pelatihan dan gladi bagi masyarakat
Tahap Pemanfaatan Ruang
Pembangunan jaringan pergerakan menuju lokasi aman
Tahap Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Penetapan rencana tata bangunan dan lingkungan
Penetapan peraturan dan perijinan bangunan berdasar peraturan
Law enforcemen
B. Kegiatan pada PASKA BENCANA

Tahap Perencanaan
Pemetaan kerusakan, analisis kerusakan, analisis risiko
Rencana restrukturisasi jaringan jalan dan jaringan infrastruktur
Rezoning, rebuffer zoning, penyusunan zoning regulation dan peraturan bangunan
Review RTRW, RDTR, dan RTR kawasan, redisain kawasan yang tanggap terhadap bencana tsunami
Sosialisasi zoning regulation dan peraturan bangunan
Tahap Pemanfaatan Ruang
Pemberian perijinan IMB sesuai zoning regulation
Law enforcement zoning regulation dan peraturan bangunan
Resetlement permukiman dari kawasan bencana tsunami seperti yang telah ditetapkan dalam RTRW hasil evaluasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar