Cari di Website Ini

Selasa, 07 Januari 2014

Masterplan Pengendalian Banjir Jakarta (1)

Sumber: Review Masterplan Pengendalian Banjir dan Drainase, Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, 2009.

1. Umum

Pesatnya perkembangan kawasan perkotaan, selain memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi, ternyata pada sisi lainnya dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan lingkungan, apabila kegiatan pembangunan yang dilakukan tidak memperhitungkan faktor daya dukung lahan. Bencana banjir (flood) ataupun genangan air (inundation) merupakan salah satu contohnya.
Permasalahan banjir pada umumnya sangat terkait erat dengan berkembangnya kawasan perkotaan yang selalu diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk, aktifitas dan kebutuhan lahan, baik untuk permukiman maupun kegiatan ekonomi. Karena keterbatasan lahan di perkotaan, terjadi intervensi kegiatan perkotaan pada lahan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah konservasi dan ruang terbuka hijau. Akibatnya, daerah resapan air semakin sempit sehingga terjadi peningkatan aliran permukaan dan erosi. Hal ini berdampak pada pendangkalan (penyempitan) sungai, sehingga air meluap dan memicu terjadinya bencana banjir, khususnya pada daerah hilir.
Terkait dengan permasalahan tersebut diatas, bencana banjir yang terjadi di DKI Jakarta, pada hakekatnya memiliki korelasi dengan pesatnya perkembangan kawasan perkotaan di Jabodetabek Punjur, yang pada kenyataannya tidak lagi sesuai dengan fungsi yang seharusnya.  Penyimpangan / ketidaksesuaian perkembangan kawasan ini didapati pada daerah hulu maupun hilir Jabodetabek Punjur.
Pada Kawasan Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) yang secara geografis merupakan daerah hulu, penyimpangan tersebut tercermin dari adanya pertambahan  daerah terbangun secara signifikan.  Seharusnya, fungsi kawasan Bopunjur merupakan kawasan konservasi air dan tanah, yang memberikan perlindungan bagi kawasan dibawahnya untuk menjamin ketersediaan air tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir bagi kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya (KepPres No. 114,  tahun 1999).
Adapun penyimpangan pemanfaatan lahan untuk kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) sebagai daerah hilir, antara lain ditunjukan dengan perubahan pemanfaatan menjadi daerah terbangun pada lahan yang seharusnya berfungsi sebagai ruang terbuka hijau dan tempat resapan/penyimpanan/ penampungan air.
Terjadinya penyimpangan pemanfaatan lahan, baik pada daerah hulu maupun hilir Jabodetabek Punjur, tentunya tidak terlepas dari adanya tuntutan kepentingan sektor ekonomi yang mengabaikan faktor lingkungan. Selain itu, masalah permukiman liar di sepanjang sungai dan budaya masyarakat yang memposisikan sungai sebagai tempat pembuangan (limbah dan sampah) juga menyebabkan kondisi sungai tidak terpelihara. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan  banjir.
Akibat dari bencana banjir yang terjadi setiap tahun adalah kerugian ekonomi dan kadang-kadang juga jatuhnya korban jiwa. Banjir yang terjadi di daerah perkotaan telah mengakibatkan kerugian, bukan saja rusaknya harta benda yang terendam air banjir, tetapi juga kemacetan lalu lintas, merebaknya penyakit menular, hilangnya waktu produktif, dll. Sementara itu, kerugian akibat banjir di daerah pertanian berupa gagal panen, yang seringkali harus pula dilakukan penanaman ulang.
Meningkatnya limpasan langsung yang memperbesar debit banjir maksimum di satu pihak, ternyata juga berarti berkurangnya air hujan yang meresap ke dalam tanah yang berdampak pada mengecilnya debit minimum pada sebuah sungai. Hal ini berdampak pada masalah kekurangan air di berbagai daerah pada musim kemarau, baik untuk memenuhi kebutuhan pokok air bersih maupun untuk pertanian.
Masalah drainasi termasuk di dalamnya adalah system drainasi desa dan kota pada daerah genangan banjir. Sistem ini dibutuhkan untuk memindahkan air dari aliran permukaan setempat. Tanpa daerah banjir atau drainasi kota, aliran permukaan setempat dapat menyebabkan banjir besar terutama jika outlet drainasi alam yang menuju ke sungai utama tertutup. Sistem drainasi meliputi drainasi gravitasi ( saluran terbuka atau pipa-pipa dalam tanah ), pintu gorong-gorong yang melalui tanggul pengendali banjir, dan sistem-sistem pemompaan untuk memindahkan air dari suatu bagian yang rendah pada daerah banjir menuju sungai yang letaknya mungkin sangat lebih tinggi.
Perencanaan sistem drainasi didasarkan pada faktor-faktor sebagai berikut ini:
  • Luas, topografi dan karakteristik infiltrasi dari suatu daerah.
  • Tingkat dan waktu terjadinya hujan serta limpasan.
  • Periode banjir ketika aliran gravitasi terhenti.
  • Volume air yang tergantung pada waktu penggenangan yang diperbolehkan.
  • Elevasi pintu pembuang ke sungai selama banjir.
  • Tersedianya tenaga listrik.
  • Biaya.
Saluran terbuka merupakan cara yang umum untuk mengalirkan air banjir ke lokasi pintu pembuang. Saluran-saluran terbuka direncanakan dengan menggunakan persamaan Manning (atau yang sejenis). Bangunan pintu pembuang direncanakan sebagai bangunan drainasi gravitrasi atau stasiun pompa, tergantung pada kondisi setempat.
Sedangkan upaya untuk memperkecil aliran permukaan (run off) yang masuk ke sungai dapat dilakukan diantaranya dengan :
Pengelolaan Aliran Air Permukaan
Pengelolaan Aliran Air Permukaan (storm water management); yaitu pengelolaan aliran air hujan ke tempat penerima air; sungai atau alur aliran. Dalam definisi, itu merupakan pengontrolan aliran air menuju sungai bukan aliran pada sungainya sendiri yang biasa disebut sebagai pengendalian banjir. Dengan demikian permasalahan drainase dan banjir dapat dikontrol langsung pada sumbernya dengan menggunakan prinsip “tidak ada penambahan aliran” dari keadaan sebelum pengembangan (pembangunan). Sistim drainase alamiah tidak dapat menerima peningkatan debit aliran. Hal itu disebabkan dataran banjir yang ada khususnya dibagian hilir telah banyak terbangun.
Pengendalian dari peningkatan aliran ini dapat dilakukan pada tingkat yang berbeda; rumah perorangan, komplek perumahan atau daerah komersial, pada daerah aliran sungai, dan lain-lain. Detensi setempat (OSD=On site detention) pada 50 mm curah hujan akan mengoptimalkan kapasitas hidrolik dari hampir seluruh saluran drainase utama. Jumlah ini setara dengan volume 500 m3/ha, 5 m3/100m2, atau kira-kira 50% dari curah hujan rencana. Hal tersebut dapat dicapai dengan detensi menggunakan daerah cekungan terbuka, tangki atau tong air, simpanan air atap rumah, kolam-kolam, situ-situ, sumur resapan, biopori dan penataan ruang untuk retensi maksimum.
Penting sekali bahwa volume tersebut disediakan untuk menahan sedikitnya 50% dari curah hujan rencana, dan tidak rnelepasnya sebelum aliran masuk ke saluran­-saluran/sungai. Diusulkan juga untuk fasilitas tersebut pemasangannya agar berada diatas tanah guna memudahkan pemeriksaan dan pengamatan. Kriteria-kriteria berdasar volume tersebut harus digunakan untuk seluruh pembangunan berskala kecil dan kegiatan pembangunan kembali. Selanjutnya pemasangan fasilitas tersebut agar masuk dalam persyaratan untuk perolehan ijin membangun. Untuk pembangunan lebih besar, misal lebih dari 10 ha, suatu Rencana pengelolaan aliran air permukaan yang lebih balk harus di buat berdasar pada prinsip tiada peningkatan aliran. Prinsip ini sedang diangkat dalam Kebijakan Sumber Daya Air yang sedang dikembangkan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Kebijakan ini disebut sebagai “zero delta q”. Kira-kira 3 – 5 % dari daerah pembangunan atau pengembangan harus disisihkan untuk pembangunan kolam detensi atau situ tergantung dari kedalaman yang dipilih.
Infiltrasi
Peningkatan kekedapan akibat urbanisasi telah menimbulkan pengaruh yang besar pada debit puncak dan volume dari aliran dan pada pengisian kembali air tanah dan tinggi muka air tanah. Debit puncak dapat dikurangi dengan tampungan detensi tapi jumlah volume aliran hanya dapat dikurangi dengan retensi dan peresapan.
Sumur resapan yang diwajibkan oleh Gubernur DKI sejak 2001 ditetapkan dengan volume 1 m3 untuk tiap 25 m2  luas atap. Ketetapan tersebut setara dengan 40 mm curah hujan jika sumur dapat beroperasi efektif yaitu jika tinggi muka air tanah selalu dibawah dasar sumur dan kosong kembali dalam satu hari. Keadaan efektif tersebut dapat dijumpai pada kurang dari separo luas Jakarta dan pemetaan lebih detail sangat diperlukan untuk menetapkan lokasi yang berpotensi untuk penerapan efektif keputusan tersebut. Penerapan sumur resapan dengan mengikuti konsep Sumur Resapan Tirta Sakti harus lebih mendapat perhatian untuk lokasi dimana sumur resapan dangkal tidak efektif.
Sumur dangkal hanya efektif pada hampir seluruh tapi tidak semua tempat di kota Jakarta Selatan. Diseluruh daerah Jakarta penerapan sumur resapan dangkal tidak akan lebih efektif dibanding dengan upaya detensi. Diusulkan perbaikan terhadap Keputusan Gubernur. Daerah dimana sumur resapan efektif harus ditetapkan tempatnya; seluruh daerah lainnya harus menerapkan sumur resapan dalam untuk bangunan komersial dan detensi permukaan untuk daerah hunian.
Tata Guna Lahan dan Perencanaan Tata Ruang
Pertumbuhan daerah kota Jakarta sangat pesat. Berbeda dengan perencanaan semula dimana diarahkan perkembangan ke arah Timur-Barat, perkembangan mengarah ke selatan. Perkembangan ke arah Selatan akan merubah rasio antara daerah konservasi dan daerah perkotaan yang kedap air di hulu daerah tangkapan air sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta. Perbangunan ini akan secara langsung menciptakan aliran banjir lebih tinggi yang akan menimbulkan permasalahan banjir pada kota Jakarta.
Umumnya permasalahan perencanaan tata ruang adalah akibat ketidakkonsistenan tata ruang, Iemahnya penegakan hokum dalam mengendalikan pelaksanaan tata ruang, dan ketiadaan kesadaran masyarakat dan lembaga-lembaga dalam hal isu-isu lingkungan. Pembangunan yang pesat di Jakarta telah memaksa masyarakat miskin untuk membangun permukiman dekat sungai dan drainase yang menyebabkan permasalahan lebih banyak pada sungai dan drainase yang pada akhirnya meningkatkan masalah banjir. Oleh karena pembangunan dan pertumbuhan tidak dapat dihentikan maka direkomendasikan beberapa  hal untuk mengendalikan dampak pertumbuhan dan pembangunan perkotaan :
  • Lakukan beberapa tindakan untuk merubah orientasi pembangunan kembali ke arah Timur – Barat dengan membangun sistem jaringan jalan Timur – Barat dan secara sungguh-sungguh rnengembangkan Jonggol (di arah Tenggara) sebagai alternatif baru kota;
  • Melakukan beberapa tindakan penyeimbang (membangun kolam-kolam, situ, sumur penyerapan dan lain-lain) untuk pembangunan di atas tanah basah atau daerah konservasi in kawasan hulu daerah resapan sungai untuk meminimalkan dampak negatif pembangunan;
  • Meningkatkan kepedulian lembaga, organisasi, dinas dan masyarakat atas isu-isu lingkungan sehingga mampu melestarikan keseimbangan ekosistem daerah Jakarta dan sekitarnya.
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat memiliki kegunaan dalam merencanakan dan melaksanakan kampanye pemberdayaan masyarakat dalam memfasilitasi penyampaian informasi dan pembelajaran komunitas melalui berbagai media terkait Tanggap Darurat terkait dampak banjir. Selanjutnya, hal tersebut diarahkan untuk menyampaikan instruksi pada komunitas untuk tidak membuang sampah ke dalam sistem drainase.
Isu-isu yang tercakup adalah :
  • Penyiapan dan Tanggap Darurat oleh masyarakat terhadap banjir,
  • Pemberdayaan masyarakat untuk tidak melakukan tindakan penyempitan drainase dan tidak membuang sampah padat kedalam drainase,
  • Kemauan masyarakat untuk mendukung program pengurangan banjir.
2. Sistem Pewilayahan Dalam Pengendalian Banjir
Seperti telah diketahui, wilayah DKI Jakarta merupakan muara dari 13 sistem sungai / saluran makro yaitu :
  1. Kali Mookervart
  2. Kali Angke
  3. Kali Pesanggrahan
  4. Kali Grogol
  5. Kali Krukut
  6. Kali Baru/Pasar Minggu
  7. Kali Ciliwung
  8. Kali Baru Timur
  9. Kali Cipinang
  10. Kali Sunter
  11. Kali Buaran
  12. Kali Jatikramat
  13. Kali Cakung
Sistem pewilayahan dalam pengendalian banjir di wilayah Jakarta, dibagi dalam tiga bagian yaitu : Barat, Tengah dan Timur. Level penanganan banjir untuk tiap wilayah dibahas di bawah ini.
A. Wilayah Barat
Di wilayah barat mengalir 4 (empat) sungai dan 1 (satu) floodway yang nantinya bermuara di Pantai Utara Jakarta.
Nama SungaiPanjang Sungai(km)
Kali Mookervart13
Kali Angke83,9
Kali Pesanggrahan76,3
Kali Grogol35
5. Cengkareng Drain6,9
Floodway ini dibuat tahun 1986 untuk mengalirkan debit banjir 390 m3/dt. Sedangkan studi JICA 1997 mengaktualkan dengan banjir rencana menjadi 620 m3/dt untuk pengamanan 100 tahunan, sedangkan kapasitas yang ada diperkirakan 290 m3/dt.
Sekalipun Cengkareng Floodway sendiri kapasitasnya cukup sewaktu banjir 2002, namun peningkatan kapasitas diperlukan untuk mengakomodir penambahan debit setelah implementasi Pesanggrahan dan Angke nantinya.
Dalam master plan level penanganan banjir dilakukan 100 tahunan untuk Cengkareng Drain (Floodway) dan 25 tahunan untuk Mookervart, Angke, Pesanggrahan dan Grogol.
B. Wilayah Tengah
Di wilayah tengah mengalir 4 (empat) sungai dan 1 (satu) floodway/banjir kanal yang nantinya bermuara di Pantai Utara Jakarta.
Nama SungaiPanjang Sungai(km)
1. Kali Krukut31,3
Kali Baru5,7
3. Kali Ciliwung126
4. Kali Baru Timur5,7
5. Banjir Kanal Barat17,2
Peningkatan kapasitas Banjir Kanal Barat telah selesai dilakukan oleh pihak BBWS Ciliwung-Cisadane melalui penurapan dan pengerukan.
C. Wilayah Timur
Di wilayah timur mengalir 5 (empat) sungai dan 1 (satu) floodway/banjir kanal yang nantinya bermuara di Pantai Utara Jakarta.
Nama SungaiPanjang Sungai(km)
1. Kali Cipinang31,3
Kali Sunter38
3. Kali Buaran126
4. Kali Jatikramat13,8
5. Kali Cakung22,9
6. Banjir Kanal Timur210
Rencana banjir kanal timur akan menggabung sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat dan Cakung di catchment bagian hulu. Dibagian hilir rencana BKT sungai Sunter dan Cakung sudah dilaksanakan konstruksinya didasarkan kapasitas tampung setelah adanya BKT. Implementasi konstruksi Cipinang sampai Cakung akan dilaksanakan setelah BKT selesai, untuk ini perlu penanggulangan sementara dengan potensi detensi yang ada untuk mengamankan dibagian bawah. Dari hasil pengukuran sediment terindikasi kapasitas yang ada tersisa 60%. Biaya konstruksi dari BKT diperkirakan Rp. 1,6 Trilliun.
3. Pola Pemanfaatan Ruang Untuk Pengendalian Banjir
3.1. Rencana Penataan Ruang Provinsi DKI
Rencana penataan ruang Provinsi DKI sebagaimana dijabarkan dalam Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 6 Tahun 1999 tentang RTRW Provinsi DKI, mengarahkan pada upaya untuk memantapkan peran dan fungsi kota jakarta secara politk, ekonomi, ekologis dan sosial, sebagaimana diuraikan dalam Kebijakan dan Strategi Pengembangan Tata Ruang Provinsi DKI yang menekankan pada empat kebijakan sebagai berikut :
  1. Memantapkan fungsi kota Jakarta sebagai kota jasa skala nasional dan internasional
  2. Memprioritaskan arah pengembangan kota ke arah koridor timur, barat, utara dan membatasi pengembangan ke arah selatan agar tercapai keseimbangan ekosistem
  3. Melestarikan fungsi dan keserasian lingkungan hidup di dalam penataan ruang dengan mengoptimalkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
  4. Mengembangkan sistem prasarana dan sarana kota yang berintegrasi dengan sistem regional, nasional dan internasional.
Wilayah Pengembangan Sesuai dengan karakteristik fisik dan perkembangannya, Jakarta dibagi atas 3 (tiga) Wilayah Pengembangan (WP) utama (Gambaran selengkapnya mengenai wilayah pengembangan pada Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada gambar 3.4).
Kebijakan pembangunan untuk masing-masing Wilayah Pengembangan (WP) dapat diuraikan sebagai berikut :
1.   Wilayah Pengembangan (WP) Utara terdiri atas :
a. WP Kepulauan Seribu (WP-KS), dengan kebijakan pengembangan yang terutama diarahkan untuk meningkatkan kegiatan pariwisata, kualitas kehidupan masyarakat nelayan melalui peningkatan budidaya laut dan pemanfaatan sumber daya perikanan dengan konservasi ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove.
b. WP Pantai Utara (WP-PU), dengan kebijakan meliputi:
1. Pantai Lama :
  • Meningkatkan dan melestarikan kualitas lingkungan Jakarta Utara;
  • Mempertahankan permukiman nelayan;
  • Mengembangkan fungsi pelabuhan dan perniagaan
2. Pantai Baru : melalui pengembangan reklamasi yang terpisah secara fisik dari pantai lama dengan kegiatan utama jasa dan perdagangan berskala internasional, perumahan, pelabuhan serta pariwisata.

Gambar 2 1. Rencana Wilayah Pengembangan Provinsi DKI
2.   Wilayah Pengembangan (WP) Tengah terdiri dari:
a. WP Tengah Pusat (WP-TP), dengan kebijakan pengembangan yang diarahkan untuk pusat pemerintahan, pusat kegiatan perdagangan dan jasa serta permukiman intensitas tinggi
b. WP Tengah Barat (WP-TB), dengan kebijakan pengembangan untuk permukiman yang ditunjang dengan pengembangan Sentra Primer Baru Barat
c. WP Tengah Timur (WP-TT), dengan kebijakan pengembangan untuk pusat industri / pergudangan serta permukiman yang ditunjang dengan pengembangan Sentra Primer Baru Timur.
3.  Wilayah Pengembangan (WP) Selatan terdiri atas:
a. WP Selatan Utara (WP-SU), dengan kebijakan untuk pengembangan kawasan permukiman dengan intensitas sedang sampai tinggi
b. WP Selatan Selatan (WP-SS), dengan kebijakan untuk pengembangan permukiman secara terbatas dengan penerapan Koefisien Dasar Bangunan rendah untuk mempertahankan fungsinya sebagai kawasan resapan air.
Sedangkan Strategi Pegembangan Tata Ruang Propinsi Untuk mewujudkan visi dan misi pembangunan Daerah, maka strategi pengembangan Tata Ruang yang ditempuh adalah :
  1. Mengembangkan pemanfaatan ruang secara terpadu dengan pola penggunaan campuran di kawasan ekonomi prospektif dan sistem pusat kegiatan kota
  2. Mengembangkan Sentra-Sentra Primer Baru di Timur, Barat, dan Utara
  3. Menata kawasan Taman Medan Merdeka untuk bangunan umum pemerintahan, fasilitas umum, dan fasilitas sosial
  4. Mengembangkan kawasan pantai utara sebagai kawasan pusat niaga terpadu skala internasional di masa depan
  5. Mengembangkan sistem angkutan umum massal sebagai moda angkutan utama antar pusat-pusat kegiatan dan antar bagian-bagian kota
  6. Mengembangkan dan mengoptimalkan penataan ruang daerah aliran 13 sungai, situ, waduk, bajir kanal dan lokasi tangkapan air sebagai orientasi pengembangan kawasan sesuai dengan fungsi Wilayah Pengembangan (WP) tempat badan air tersebut berlokasi
  7. Mempertahankan dan mengembangkan RTH di setiap wilayah kotamadya baik sebagai sarana kota maupun untuk keseimbangan ekologi kota
  8. Mengembangkan dan mengoptimalkan penataan ruang berdasarkan tipologi kawasan.
Misi Dan Strategi Pengembangan Tata Ruang Kotamadya Untuk mewujudkan visi dan misi pembangunan Propinsi DKI Jakarta, maka misi pengembangan tata ruang Kotamadya adalah :
1. Kotamadya Jakarta Pusat:
a. Mewujudkan pusat kota jasa terpadu dengan mendorong pembangunan fisik secara vertikal dan terkendali
b. Meningkatkan Jakarta Pusat sebagai pusat pemerintahan, perkantoran, perdagangan dan jasa.
2. Kotamadya Jakarta Utara:
a. Mengembangkan Jakarta Utara sebagai kota pantai dan kawasan wisata bahari dengan menjaga kelestarian lingkungannya;
b. Mendukung pengembangan kawasan pelabuhan, industri selektif di bagian timur dan pusat niaga terpadu berskala internasional di bagian tengah Pantura.
3. Kotamadya Jakarta Barat :
a. Mengembangkan kawasan permukiman kepadatan sedang dan tinggi di wilayah bagian barat;
b. Mewujudkan pusat wisata budaya-sejarah, kota tua, serta melanjutkan pengembangan Sentra Primer Baru Barat sebagai pusat kegiatan wilayah.
c. Mengembangkan kawasan permukiman kepadatan sedang dan tinggi di wilayah bagian barat;
5. Kotamadya Jakarta Selatan:
a. Mempertahankan wilayah bagian selatan Jakarta Selatan sebagai daerah resapan air.
b. Mewujudkan wilayah bagian utara Jakarta Selatan sebagai pusat niaga terpadu.
6. Kotamadya Jakarta Timur:
a. Mengembangkan kawasan permukiman dan mempertahankan kawasan hijau sebagai resapan air.
b. Mengembangkan kawasan industri selektif dan melanjutkan pengembangan Sentra Primer Baru Timur di Pulo Gebang sebagai pusat kegiatan wilayah.
Untuk mewujudkan misi pembangunan Kotamadya sebagaimana tersebut, maka strategi pengembangan Tata Ruang yang ditempuh di masing-masing Kotamadya adalah :
1. Kotamadya Jakarta Pusat :
a. Mendorong pengembangan kawasan strategis skala Nasional dan Internasional pada kawasan ekonomi prospektif terutama di kawasan sekitar Medan Merdeka, Thamrin-Sudirman, Senayan, Kemayoran, Karet Tengsin, dan Waduk Melati.
b. Mengembangkan sarana/fasilitas transportasi yang mendukung pengembangan sistem angkutan umum massal.
c. Mendorong penataan kawasan sekitar daerah aliran 13 sungai dengan mengoptimalkan pemanfaatan ruang kawasan tersebut.
d. Mengembangkan program peremajaan lingkungan kawasan permukiman kumuh berat dengan peremajaan terbatas untuk pembangunan rumah susun murah dan penyediaan ruang terbuka hijau.
2. Kotamadya Jakarta Utara:
a. Mendorong revitalisasi kawasan kota tua sebagai objek wisata dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendukungnya guna mendorong pengembangan pusat niaga baru bertaraf internasional di kawasan reklamasi.
b. Menata kembali kawasan pantai lama secara terpadu dengan pengembangan reklamasi.
c. Mempertahankan kelestarian lingkungan kawasan perairan dan pulau-pulau di Kepulauan Seribu.
d. Menata kawasan hilir sungai dengan badan air lainnya sebagai upaya pengendali banjir dengan penyediaan permukiman bagi penduduk sekitarnya.
e. Mengembangkan sistem jaringan transportasi darat dan laut untuk angkutan penumpang dan angkutan barang secara terpadu dengan sistem transportasi makro.
3. Kotamadya Jakarta Barat:
a. Mendorong revitalisasi kawasan kota tua sebagai objek wisata dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendukungnya.
b. Memberikan kemudahan untuk terwujudnya Sentra Primer Baru Barat sebagai pusat perkantoran, perdagangan dan jasa.
c. Mendukung pembangunan jalan lingkar luar dan sistem jaringan jalan Barat-Timur, serta pembangunan terminal angkutan penumpang dan angkutan barang di Rawa Buaya yang terintegrasi dengan pengembangan sistem angkutan kereta api.
4. Kotamadya Jakarta Selatan:
a. Mendorong pengembangan kawasan strategis skala nasional dan internasional pada kawasan ekonomi prospektif di kawasan Segitiga Kuningan, Casablanca, Manggarai dan penataan kawasan Blok M Kebayoran Baru.
b. Mengakomodasikan permukiman dengan kepadatan sedang pada wilayah bagian utara Jakarta Selatan dan mempertahankan pengembangan permukiman dengan kepadatan rendah pada wilayah bagian selatan Jakarta Selatan.
c. Mendukung pembangunan jalan lingkar luar ke arah barat dan mengembangkan sarana/fasilitas transportasi yang mendorong pengembangan sistem angkutan umum massal penataan terminal Blok M, serta sistem jaringan jalan Selatan-Utara.
d. Mengembangkan kawasan hijau pada daerah aliran 13 sungai dengan pola hijau yang mendukung wisata lingkungan di wilayah bagian selatan Jakarta Selatan serta memanfaatkan badan air untuk atraksi wisata.
e. Mengembangkan pusat pembibitan tanaman dan perikanan serta pengembangan kegiatan penelitian agro dan pengembangan wisata agro.
Kotamadya Jakarta Timur:
a. Mendorong pembangunan Sentra Primer Baru Timur dengan menyelesaikan pembangunan jalan arteri dan pendukungnya.
b. Mengoptimalkan pengembangan kawasan industri selektif di Pulo Gadung, Ciracas, Pekayon dan membatasi perkembangan baru kegiatan industri pada jalan-jalan arteri.
c. Mendukung pembangunan jalan lingkar luar dan sistem jaringan jalan Timur-Barat serta pembangunan terminal penumpang dan barang sebagai titik simpul bagian timur yang menunjang pengembangan pelabuhan dan industri.
d. Mengembangkan kawasan hijau pada daerah aliran 13 sungai dan melestarikan kawasan hijau, situ dan rawa untuk pengendalian banjir.
3.2. Arahan Pola Pemanfaatan Ruang Untuk Pengendalian Banjir
Pembahasan arahan pola ruang untuk pengendalian banjir tidak dapat difokuskan pada DKI, tetapi juga harus melihat kawasan atas DKI yaitu bopunjur. Pada Kawasan Bopunjur telah terjadi perubahan panggunaan lahan akibat tekanan sistem kependudukan dan ekonomi yang sangat tinggi pada kawasan Jabodetabekpunjur menyebabkan permasalahan ikutan yang sangat menggangu keberadaan Jakarta sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia, diantaranya adalah :
1.  Perubahan Lahan yang sangat cepat
Data menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan penggunaan lahan di Jabodetabek sebesar 10% untuk permukiman antara tahun 1992 hingga 2001. Pada kurun waktu yang sama, juga terjadi pengurangan luasan kawasan lindung hingga 16%. Secara keseluruhan terjadi penyimpangan sebesar 20% terhadap arahan penggunaan lahan pada RTR Kawasan Jabodetabek.
Sementara itu, untuk Kawasan Bopunjur yang merupakan hulu (up-stream) dari Kawasan Jabodetabek, berdasarkan informasi citra landsat tahun 2001 telah terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan sebesar 79,5% dari arahan yang ditetapkan dalam Keppres No.114/1999. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan kawasan permukiman/perkotaan yang cukup pesat dengan luas mencapai 35.000 ha atau 29% dari total luasan Kawasan Bopunjur. Bentuk-bentuk penyimpangan lainnya diantaranya adalah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai untuk permukiman pada sepanjang bantaran sungai-sungai dan pemanfaatan ruang untuk permukiman pada wilayah retensi air, seperti rawa-rawa dan lahan basah.
Dampak langsung yang dirasakan adalah bencana banjir dan longsor yang menimpa kawasan Jabodetabek pada awal tahun 2002 silam, merupakan salah satu fakta yang menarik untuk memperlihatkan terjadinya konflik dan ketidakserasian pemanfaatan ruang, khususnya antara pemanfaatan kawasan permukiman perkotaan dan kawasan lindung. (Sumber : Makalah Kebijakan Penataan Kawasan Jabodetabek, 2004)
2.  Permasalahan Sumber Daya Air
a. Penyempitan sungai akibat sedimentasi dari partikel-pertikel yang terbawa, yang berdampak pada meningkatnya aliran air permukaan (run-off).
b. Perubahan lahan alami ke lahan terbangun menimbulkan bahaya erosi dan menurunkan infiltrasi air tanah.
c. Terjadinya genangan di kawasan pantai lama yang mengalami amblesan (land subsidance) Apabila land subsidance mencapai 2 m, sementara kenaikan muka air laut mencapai 60 cm, diperlukan upaya untuk memompa air di daerah genangan yang kedalamannya mencapai 2,6 m di bawah permukaan laut.
d. Hingga tahun 2002, situ-situ mengalami penyusutan yang cukup signifikan (sebesar 65,8%).
Untuk mengatasi hal tersebut, maka arahan penataan ruang pada kawasan Jabodetabekpunjur adalah mengembalikan fungsi kawasan bopunjur sebagai kawasan resapan air, tentu saja pengembalian fungsinya harus menggunakan pendekatan teknologi, mengingat sangat tidak mungkin (terlalu mahal) apabila mengembalikan kawasan resapan air dengan pendekatan vegetatif, kecuali ada reformasi agraria pada kawasan ini.
Sedangkan untuk mengatasi permasalahan rob, pada kawasan utara provinsi Jakarta maka mau tidak mau pemerintah bersama masyarakat harus berupaya keras untuk meningkatkan fungsi hijau pada kawasan ini, penanaman mangrove pada kawasan pesisir sebagai pertahanan alami terhadap abrasi serta ancaman banjir rob merupakan salah satu opsi yang dapat diusulkan dalam rangka antisipasi banjir di DKI.
4. Analisa Banjir
4.1. Evaluasi dan Analisis Data Meteorologi/Hidrologi Perubahan Iklim Global
Meteorologic Model merupakan data curah hujan (presipitation) efektif dapat berupa 15 menitan atau jam-jaman. Perlu diperhatikan bahwa curah hujan kawasan diperoleh dari hujan rerata metode Thiessen dengan memperhatikan pengaruh stasiun curah hujan pada kawasan tersebut. Bila satu kawasan mendapat pengaruh dua dari tiga stasiun hujan yang digunakan, maka hujan rerata kawasan tersebut dihitung dari hujan rencana dua stasiun hujan tersebut. Data hujan yang dipakai merupakan data dari hasil studi FHM-2. Pada studi tersebut menggunakan data dari beberapa stasiun hujan yang tergambar pada peta Gambar 2.1.  Sedangkan sebagai acuan digunakan data dari stasiun AWLR yang ada. Dalam studi ini diusulkan juga pembangunan beberapa sta AWLR baru yang digambarkan dalam Gambar 2.2.

Gambar 2‑2. Peta Stasiun Hujan Eksisting


4.2. Evaluasi dan Analisis Data Sosial Ekonomi
4.2.1. Kependudukan
Secara langsung data kependudukan tidak dapat memberikan makna (angka pasi) bagi suatu kebutuhan. Data ini hanya bersifat proyeksi kebutuhan dan intensitas kebutuhan. Semakin padat penduduk suatu wilayah, makin tinggi dan makin banyak ragam kebutuhan. Namun juga sekaligus makin tinggi tantangan untuk pengadaan lahan dan bangunan fisik dalam wilayah itu kerena adanya berbagai benturan kepentingan.

Dari data  pada tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk terbanyak di tahun 2007 adalah Kabupaten Bogor sebesar 4,251,838 jiwa sedangkan jumlah penduduk terkecil adalah Kota Bogor 855,085 jiwa. Wilayah administrasi terluas adalah Kabupaten Bogor sebesar 2388.93 km2 administrasi terkecil adalah Jakarta pusat sebesar  47.89 km2 . Jumlah rumah tangga terbanyak di Kabupaten Bogor sebanyak 1,018,210 KK, dan jumlah rumah tangga tersedikit di Kota Bogor sebanyak 94,357 KK. Kepadatan penduduk tertinggi adalah Jakarta Pusat  yaitu 17,022  jiwa per km2, sedangkan kepadatan penduduk terendah adalah kabupaten Bogor sebanyak 1,596 jiwa per km2. Jumlah rata-rata anggota keluarga tertinggi di  Jakarta Utara yaitu 5.10 jiwa per KK, sedangkan jumlah rata-rata anggota keluarga terendah di  di Jakarta Pusat yaitu 3.45 jiwa per KK.

Gambar 2‑4. Grafik Kenaikan Jumlah Penduduk Jakarta Barat

Gambar 2‑5. Grafik Kenaikan Jumlah Penduduk Jakarta Pusat

Gambar 2‑6. Grafik Kenaikan Jumlah Penduduk Jakarta Timur

Gambar 2‑7. Grafik Kenaikan Jumlah Penduduk Jakarta Selatan

Gambar 2‑8. Grafik Kenaikan Jumlah Penduduk Jakarta Utara

Gambar 2‑9. Grafik Kenaikan Jumlah Penduduk Bogor

Gambar 2‑10. Grafik Kenaikan Jumlah Penduduk Tangerang

Gambar 2‑11. Grafik Kenaikan Jumlah Penduduk Bekasi

Gambar 2‑12. Grafik Kenaikan Jumlah Penduduk Kota Bogor

Gambar 2‑13. Grafik Kenaikan Jumlah Penduduk Kota Tangerang
Sedangkan untuk jumlah penduduk berdasarkan jenis kelaminnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2‑4.  Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Kab/KotaTahunPenduduk (jiwa)Jumlah Total(jiwa)Rasio Jenis Kelamin
Laki-lakiPerempuan
Jakarta Barat2003795,998773,0301,569,028103
2004793,781779,8381,573,619102
2005792,096771,4671,563,563103
2006792,327773,6201,565,947102
2007829,894805,5911,635,485103
Jakarta Pusat2003453,961443,828897,789102
2004449,325443,870893,195101
2005422,686438,843861,52996
2006441,029384,892825,921115
2007410,790404,376815,166102
Jakarta Selatan2003892,059809,3171,701,376110
2004894,784812,9831,707,767110
2005914,951830,2441,745,195110
2006908,537826,1371,734,674110
2007911,691830,4861,742,177110
Jakarta Timur20031,112,904981,7892,094,693113
20041,116,604986,9212,103,525113
20051,123,925995,2952,119,220113
20061,135,4741,005,7542,141,228113
20071,148,3971,020,2042,168,601113
Jakarta Utara2003601,767577,5591,179,326104
2004605,018577,7311,182,749105
2005601,567572,3681,173,935105
2006604,737576,1861,180,923105
2007642,389577,3831,173,497111
Kab Bogor20031,936,3221,855,4593,791,781104
20041,936,8741,861,3383,798,212104
20051,937,7901,864,1583,801,948104
20062,012,7451,889,1363,901,881107
20072,030,6511,944,3843,975,035104
Kab Tangerang20031,620,0181,575,7193,195,737103
20041,624,3541,579,9373,204,291103
20051,663,1851,654,1453,317,330101
20061,745,3951,689,8103,435,205103
20071,766,9791,729,0233,496,002102
Kab Bekasi2003956,825920,5911,877,416104
2004996,150954,0591,950,209104
20051,040,957986,9452,027,902105
20061,047,6911,007,1042,054,795104
20071,088,1441,037,8162,125,960105
Kota Bekasi2003930,143914,8621,845,005102
2004957,717956,5981,914,315100
2005997,6221,000,2771,997,899100
20061,041,9601,029,4842,071,444101
20071,076,1631,067,6412,143,804101
Kota Bogor2003419,252401,455820,707104
2004424,819406,752831,571104
2005430,386412,049842,435104
2006431,862423,223855,085102
2007437,429428,520865,949102
Kota Depok2003680,306655,4281,335,734104
2004693,527670,4561,363,983103
2005706,748685,4831,392,231103
2006719,969700,5111,420,480103
2007733,190715,5391,448,729102
Kota Tangerang2003747,757718,8201,466,577104
2004752,505711,8721,464,377106
2005759,996728,6701,488,666104
2006774,978762,2661,537,244102
2007781,098767,1911,548,289102
Sumber : Biro Pusat Statistik
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumah penduduk tertinggi adalah di tahun 2007 adalah Kabupaten Bogor sebesar  4,251,838 jiwa sedangkan jumlah penduduk terkecil adalah Kota Bogor  855,085 jiwa. Jumlah rasio Rasio Jenis Kelamin tertinggi terdapat pada kota Jakarta Timur yaitu 112.57, sedangkan terendah pada  Kota Bekasi yaitu 100.80. Keadaan ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk pria masih lebih bayak dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan.
4.2.2. Fasilitas Pendidikan
Perkembangan jumlah fasilitas pendidikan yang ada di DKI Jakarta tiap tahunnnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2‑5.  Banyaknya SD, SLTP, SLTA dan SMK Negeri/Swasta
Kab/KotaTahunSDSLTPSLTASMK
NegeriSwastaNegeriSwastaNegeriSwastaNegeriSwasta
Jakarta Barat2003468188241108117
200446819749175110117
200546518649175112115
200646518649175118116
200747218450181114112
Jakarta Pusat2003294129369913571150
2004288124369213571150
2005287126369613591249
2006285121369313521356
2007285125369113531456
Jakarta Selatan2003tadtadtadtadtadtadtadtad
2004tadtadtadtadtadtadtadtad
2005tadtadtadtadtadtadtadtad
2006tadtadtadtadtadtadtadtad
2007tadtadtadtadtadtadtadtad
Jakarta Timur2003tadtadtadtadtadtadtadtad
2004tadtadtadtadtadtadtadtad
2005tadtadtadtadtadtadtadtad
2006tadtadtadtadtadtadtadtad
2007tadtadtadtadtadtadtadtad
Jakarta Utara2003161151331301762863
2004149162371351754848
2005149162371351764865
2006148162371451765866
2007160162371351762865
Sumber : Biro Pusat Statistik
4.2.3. Infrastruktur
Kondisi dan perkembangan infrastruktur fisik (jalan, jembatan dan jaringan listrik dan air) dalam suatu daerah akan mempengaruhi perkembangan ekonomi wilayah tersebut. Faktor dominan yang dapat mendorong perkembangan wilayah dengan cepat adalah pra sarana transportasi. Semakin panjang jalan negara maka semakin ramai lalu lintas dan semakin tinggi kapasitas / daya angkut serta jenis kendaraan alat transportasi.
Tabel 2‑6.  Panjang Jalan Menurut Klasifikasinya
Kab/KotaTahunPanjang Jalan
ArteriKolektorLokalTol
Jakarta Barat2003103.63184.75877.5517.67
200481.83199.12968.0917.67
2005103.63184.75879.5117.67
2006103.63184.75879.5117.66
2007103.63184.75879.5117.66
Jakarta Pusat2003129.31172.88559.23tad
2004129.31172.88559.23tad
2005129.31172.88559.23tad
2006129.31172.88559.23tad
2007129.31172.88559.23tad
Jakarta Selatan2003141.31221.021,273.6921.88
2004141.31321.021,273.6921.88
2005144.38256.091,538.279.68
2006144.38256.091,538.279.68
2007144.38256.091,538.279.68
Jakarta Timur2003337.82tad1,063.0035.56
2004337.82tad1,136.0035.56
2005337.82tad1,884.6835.56
2006397.81tad1,915.7466.51
2007397.81tad2,047.2766.51
Jakarta Utara200389.71192.741,359.3734.59
200490.71192.991,359.3734.59
200597.27192.741,360.5734.59
200689.71192.741,359.5834.59
200789.71192.741,359.5834.59
Sumber : Biro Pusat Statistik
Infrastruktur lain yang berkaitan yaitu situ. Jumlah Situ terkait dengan sistem Flood Control adalah sebanyak 66 buah seperti yang tergambarkan pada diagram sebagai berikut. Jumlah situ terbanyak di Kota Depok sebanyak 21 buah, sedangkan yang tersedikit terdapat di Kab Bekasi yaitu 1 buah situ.

Gambar 2‑14. Grafik Jumlah Situ Terkait
Sementara itu, jumlah fasilitas penampungan sampah dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2‑7.  Jumlah Lokasi Penampungan Sampah Sementara
Kab/KotaTahunDIPOTransitoBak BetonLPS / BakContainer
Jakarta Barat200330792052
2004307920-27
2005308520-27
200629631446-
2007246314460
Jakarta Pusat200330792052181
2004307920-27
2005308520-27
2006296314460
2007246314460
Jakarta Selatan200330397642135
200469367642166
200531407648158
200631357648155
200731402936112
Jakarta Timur200335973191478228
200434973641778235
2005371003892328198
2006381043892384247
200739613702252175
Jakarta Utara200316302826150
200416294740147
200517294740144
20061717944140
20071717922133
Sumber : Biro Pusat Statistik
4.2.4. Analisa Pendapatan Daerah
PDRB menurut sektor dapat menunjukkan pada bidang usaha atau sektor manakah suatu kegiatan ekonomi wilayah berpusat. Semakin besar prosentase sumbangan suatu sektor terhadap PDRB total, hal itu mengindikasikan bahwa mayoritas kegiatan berada pada sektor tersebut. Pada negara agraris seperti Indonesia, dominasi penyumbang PDRB dan kegiatan produksi berpusat pada sektor pertanian. Makin besar proporsi sumbangan suatu sektor maka makin besar dominasi sektor tersebut pada kegiatan ekonomi pada satu wilayah.
PDRB menunjukkan jumlah produk (barang dan jasa) yang dihasilkan oleh penduduk suatu wilayah pda kurun waktu tertentu (dalam hal ini 1 tahun). PDRB per kapita dengan demikian adalah produk barang atau jasa yang dihasilkan oleh seorang penduduk wilayah tertentu selama 1 tahun. Makin tinggi jumlah PDRB makin tinggi secara relatif kemakmuran penduduk pada wilayah tersebut.
Secara total wilayah, maka wilayah yang menghasilkan PDRB dalam jumlah banyak adalah wilayah yang relatif lebih makmur dibanding wilayah yang menghasilkan PDRB lebih kecil, karena wilayah yang PDRB totalnya besar menghasilkan barang dan jasa dalam jumlah nilai yang lebih banyak. Berikut ini disajikan PDRB Total per wilayah Kabupaten / Kota.
Tabel 2‑8.  Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan per Kab.
NoKota/Kab PDRBTahun
200320042005200620072008
1Jakarta pusat62,359,19671,609,43175,964,76380,548,60485,780,64391,987,148
2Jakarta Barat49,840,99241,670,59744,184,03645,798,82749,762,61847,442,859
3Jaksel58,900,10762,191,03865,946,35469,896,62674,377,05177,860,078
4Jaktim45,033,27738,921,54650,495,91253,489,02656,886,29560,447,266
5Jakut14,657,31952,659,30555,829,60459,105,20292,038,236103,220,253
6Tangerang4,316,73113,600,13714,659,37015,785,78420,957,10424,503,743
7Bekasi35,906,41938,086,34040,435,72942,886,29245,150,94747,479,848
8Kota Bekasi10,545,45511,112,51911,729,94612,452,71413,255,15413,847,035
9Kota Bogor3,168,2413,360,8663,553,4913,746,1173,938,7424,131,367
10Kota Tangerang19,224,89720,332,13521,528,37922,702,37223,876,36425,050,357
11Bogortadtadtadtadtadtad
12Kota Depoktadtadtadtadtadtad
Sumber : Biro Pusat Statistik
PDRB tertinggi pada tahun 2007 di miliki oleh Jakarta Utara sebesar 92,038,236, terendah adalah Kota Bogor sebesar 3,964,187. Pada tahun 2006 tertinggi adalah Jakarta Selatan 69,896,626 terendah adalah Kota Bogor 3,764,664. Pada tahun 2005 tertinggi adalah Jakarta Pusat 75,964,763 terendah adalah  Kota Bogor 3,567,231. Pada tahun 2004 tertinggi adalah Jakarta Pusat 71,609,431 terendah adalah Kota Bogor  3,361,439.  Pada tahun 2003 tertinggi adalah Jakarta Pusat  62,359,196 terendah adalah  Kota Bogor  3,168,186.  Hal ini secara lebih terperinci daat dilihat pada diagram sebagai berikut :

Gambar 2‑15. Grafik PDRB Atas Dasar Harga Konstan
4.3. Prinsip Perhitungan Design Flood
Simulasi hujan menjadi aliran permukaan merupakam simulasi yang rumit karena proses yang sebenarnya terjadi di bumi adalah suatu proses yang sangat rumit, oleh karena itu perlu dilakukan penyederhanaan dan asumsi-asumsi dari seluruh kejadiannya ke dalam sebuah model. Model analisis hujan-aliran yang sederhana dan penggunaannya mudah, adalah model Rasional. Model ini menganalisa hubungan hujan-limpasan permukaan dengan keluaran berupa debit puncak. Penerapan model ini hanya dibatasi pada DAS kecil (Sobriyah, 2005; Iman Subarkah, 1978 dan Ponce, 1989).
Modifikasi model Rasional untuk DAS ukuran sedang, dilakukan dengan membagi DAS menjadi sub DAS – sub DAS dengan garis isochrone yang melintang sungai ada;ah model time area. Untuk model rasional, waktu konsentrasi sub DAS samadengan interval waktu hujannya (Viessman, 1977, Ponce, 1989, Wanieliesta, 1990).  Besarnya nilai koefisien limpasan C di tentukan berdasarkan tataguna lahannya dan menggunakan sistim grid (Sobriyah dan Sudjarwadi, 1998).
Permasalahan menarik yang kemudian muncul yaitu bagaimana memperkirakan debit banjir DAS besar.  Daerah aliran sungai ciliwung dapat dikatagorikan DAS besar, oleh karena itu pemodelannya dilakukan dengan menggunakan model hidrograf satuan sintetik SCS yang dikembangkan oleh “U.S. Soil Concervation Service” (sekarang Natural Resources Conservation Service, NRCS).  Parameter dari model ini berupa harga CN dan persen tutupan lahan dari suatu sub-das.  Parameter ini ditentukan denan menggunakan peta topografi (Rupa Bumi), Peta satelit, peta jenis tanah dan data DEM.
Analisa hidrologi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak hidrologi HEC-HMS.  Pemodelan hidrologi menggunakan teknik hidrograf sintetik SCS untuk 13 daerah aliran sungai yang termasuk didalam wilayah sungai Ciliwung dan dibagi dalam 450 sub-das.  Analisan aliran dari ketiga belas sungai tersebut di lakukan secara bersamaan dalam suatu jejaring dengan menggunakan teknik “steady non-uniform flow”.
Basin model pada perangkat lumak HEC-HMS disusun atas gambaran fisik daerah tangkapan air dan sungai. Elemen-elemen hidrologi yang saling berhubungan merupakan jaringan yang mensimulasikan proses terjadinya limpasan permukaan (run off). Permodelan hidrograf satuan pada luas area yang besar perlu dilakukan pemisahan atau pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi beberapa sub-DAS berdasakan percabangan sungai, dan perlu diperhatikan batas-batas topografi daerah yang berpengaruh pada DAS tersebut.
Pada basin model ini dibutuhkan peta background yang dapat diimport dari CAD (Computer Aided Design) maupun GIS (Geografic Information System). Elemen-elemen yang digunakan untuk mensimulasikan limpasan adalah subbasin, reach, dan junction. Berikut ini adalah gambaran Sub DAS pada daerah studi.  Langkah – langkah dalam perhitungan debit banjir rencana dengan HEC-HMS :
  1. Membuat basin model, untuk menggambarkan DAS dan elemen-elemennya
  2. Membuat meteorologic model sebagai input data bagi basin model.
  3. Membuat control spesification yang digunakan sebagai control terhadap data pada meteorologic model.
  4. Menjalankan program dengan run manager untuk mendapatkan hasil simulasi.
4.4. Basin Model (Model Daerah Tangkapan Air)
Pada basin model tersusun atas gambaran fisik daerah tangkapan air dan sungai. Elemen-elemen hidrologi berhubungan dengan jaringan yang mensimulasikan proses limpasan permukaan (run off). Permodelan hidrograf satuan sintetik memiliki kelemahan pada luas area yang besar, maka perlu dilakukan pemisahan area basin menjadi beberapa sub basin berdasakan percabangan sungai, dan perlu diperhatikan batas-batas luas daerah yang berpengaruh pada DAS tersebut.
Pada basin model ini dibutuhkan peta background yang dapat diimport dari CAD (Computer Aided Design) maupun GIS (Geografic Information System). Elemen-elemen yang digunakan untuk mensimulasikan limpasan adalah subbasin, reach, dan junction. Berikut ini adalah gambaran Sub DAS pada daerah studi.

Gambar 2‑16. Basin Model Pada Lokasi Pekerjaan

Gambar 2 17. Peta Sub Das
4.5. Proses Kehilangan Air Pada Sub-Das
Model untuk perhitungan kehilangan air hujan pada sub-das adalah pemodelan untuk menghitung kehilangan air yang terjadi karena proses intersepsi dan pengurangan tampungan. Metode yang digunakan pemodelan ini  adalah SCS Curve Number. Limpasan permukaan dalam model HEC-HMS merupakan hujan efektif yang didapat dari curah hujan dikurangi dengan intersepsi, infiltrasi, tampungan detensi, evaporasi dan transpirasi.  “Soil Conservation Service (SCS) Curve Number (CN) model adalah salah satu model infiltrasi yang merupakan fungsi komulatif dari curah hujan, tutupan tanah, dan kandungan air sebelumnya yang dihitung dengan rumus berikut.

Dimana;
Pe        =          Akumulasi tinggi hujan efektif pada waktu t,
P          =          Akumulasi tinggi hujan pada waktu t,
Ia         =          Kehilangan awal,
S          =          Potensi maximum retensi
Limpasan permukaan atau larian akan terjadi bila curah hujan telah melebihi kehilangan awal.  Dari analisis dan penelitian yang ada, SCS mengembangkan suatu formula empiris hubungan Ia dan S.

Jadi rumusan hujan efektif dapat di rubah menjadi rumusan seperti berikut;

Nilai maksimum retensi S dan sifat dari daerah aliran sungai dapat di perkirakan dengan parameter “Curve Number (CN) yang harganya dapat ditentukan atau di estimasi berdasarkan penggunaan lahan, jenis tanah dan kandungan air tanah awal.

Nilai CN berkisar dari 100 (untuk badan air) dan nilai CN sekitar 30 untuk tanah yang lolos air.  Tabel pedoman harga CN untuk setiap kondisi tanah dan penggunaan lahan dapat dilihat pada lampiran.  Nilai CN composit pada suatu daerah aliran sungai dapat dihitung dengan rumus berikut;

Dimana:
  • CNcomposite = nilai CN yang digunakan dalam model HECHMS
  • i = indek dari sub-divisi daerah aliran sungai yang penggunaan lahan dan jenis tanahnya sama atau seragam.
  • CNi = Nilai CN untuk sub-divisi i.
  • Ai = luas daerah aliran sungai sub-divisi i.
4.6. Hidrograf Satuan Sintetis SCS
Air hujan yang tidak terinfiltrasi atau jatuh secara langsung ke permukaan tanah akan menjadi limpasan permukaan. Limpasan permukaan yang terjadi akan mengalir ke palung sungai suatu DAS, limpasan permukaan tersebut (direct runoff) mengalir sesuai dengan gradien kemiringan tanah kea rah sungai. Transform method (metode transformasi) digunakan untuk menghitung aliran langsung dari limpasan air hujan. Dalam studi ini teknik transformasi yang digunakan adalah teknik hidrograf satuan sintetik  SCS.
Pada pemodelan ini  parameter yang dibutuhkan  adalah Lag, yaitu tenggang waktu (time lag) antara titik berat hujan efektif dengan titik berat hidrograf. Parameter ini didasarkan dan diturunkan pada data dari beberapa daerah tangkapan air wilayah pertanian. Parameter tersebut dibutuhkan untuk menghitung puncak dan waktu hidrograf, secara otomatis model HEC-HMS akan membentuk ordinat-ordinat hidrograf dan fungsi waktu.
Lag (Tp) dapat dicari dengan rumus :

Dimana :
L          =  Panjang lintasan maksimum
S          =  Kemiringan rata-rata
tc         =  Waktu konsentrasi
4.7. Debit Rencana 13 Sungai Makro di DKI Jakarta
Pada studi ini, debit rencana dihitung dengan menggunakan software HEC-HMS. Digunakan metode HEC–HMS karena pengoperasiannya menggunakan sistem yang dapat digunakan sejalan dengan “Windows Environment” sehingga penyiapan data, eksekusi model, dan melihat hasilnya dapat dalam berbagai bentuk (dalam bentuk tabel dan grafik satuan waktu) yang dapat dilakukan dalam model ini. Peta background dan data daerah tangkapan air dapat dengan mudah dimasukkan kedalam model dengan teknologi Geographic Information System
(GIS) dan Computer Aided Design (CAD ).
HEC–HMS adalah software yang dikembangkan oleh U.S Army Corps of Engineering. Software ini digunakan untuk analisa hidrologi dengan mensimulasikan proses curah hujan dan limpasan langsung ( run off ) dari sebuah wilayah sungai. HEC–HMS di desain untuk bisa diaplikasikan dalam area geografik yang sangat luas untuk menyelesaikan masalah, meliputi suplai air daerah pengaliran sungai, hidrologi banjir, dan limpasan air di daerah kota kecil ataupun kawasan  tangkapan air alami. Hidrograf  satuan yang dihasilkan dapat digunakan langsung ataupun digabungkan dengan software lain yang digunakan dalam ketersediaan air, drainase perkotaan, ramalan dampak urbanisasi, desain pelimpah, pengurangan kerusakan banjir, regulasi penanganan banjir, dan sistem operasi hidrologi (U.S Army Corps of Engineering, 2001).
Model HEC–HMS dapat memberikan simulasi hidrologi dari puncak aliran harian untuk perhitungan debit banjir rencana dari  suatu DAS (Daerah Aliran Sungai).
Model HEC–HMS mengemas berbagai macam metode yang digunakan dalam analisa hidrologi. Dalam pengoperasiannya menggunakan basis sistem windows, sehingga model ini menjadi mudah dipelajari dan mudah untuk digunakan, tetapi tetap dilakukan dengan pendalaman dan pemahaman dengan model yang digunakan. Di dalam model HEC–HMS mengangkat teori klasik hidrograf satuan untuk digunakan dalam permodelannya, antara lain  hidrograf satuan sintetik Synder, Clark, SCS, ataupun kita dapat mengembangkan hidrograf satuan lain dengan menggunakan fasilitas user define hydrograph (U.S Army Corps of Engineering, 2001). Sedangkan untuk menyelesaikan analisis hidrologi ini, digunakan hidrograf satuan sintetik dari SCS (soil conservation service) dengan menganalisa beberapa parameternya, maka hidrograf ini dapat disesuaikan dengan kondisi di Pulau Jawa.
Konsep dasar perhitungan dari model HEC–HMS adalah data hujan sebagai  input air untuk satu atau beberapa sub daerah tangkapan air ( sub basin ) yang sedang dianalisa. Jenis datanya berupa intensitas, volume, atau komulatif volume hujan. Setiap sub basin dianggap sebagai suatu tandon yang non linier dimana inflownya adalah data hujan. Aliran permukaan, infiltrasi, dan penguapan adalah komponen yang keluar dari sub basin.
Dari analisa HEC-HMS didapatkan debit banjir 2 tahun, 5 tahun, 50 tahun dan 100 tahun dari sungai-sungai utama yang ada di wilayah DKI yang disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2‑9.  Debit Banjir Rencana Hasil Analisis
SungaiDebit (m³/s)
Q 2Q 25Q 50Q 100
Cengkareng Drain466.90537.70563.60593.30
Mookervart79.10129.20143.50157.20
Angke192.00239.50259.50281.60
Pesanggrahan152.10198.90217.30237.10
Sepak Meruya45.0066.3072.1077.90
Grogol23.5030.0032.5035.30
Sekretaris29.7056.2065.5076.20
Banjir Kanal Barat503.30623.20661.40699.80
Krukut103.50163.40180.00196.60
Ciliwung (Pintu Manggarai)397.00478.10512.10557.00
Kali Baru Timur45.5072.8080.2088.10
Inlet BKT (Cipinang)56.0079.3086.2093.20
Inlet BKT (Sunter)87.60131.50145.40159.60
Inlet BKT (Buaran)30.0052.1059.3066.80
Inlet BKT (Jatikramat)26.0043.8049.8055.90
Inlet BKT (Cakung)37.4064.4072.3080.00
BKT (Muara)355.30505.60548.70591.20
Sunter81.10159.40187.50219.80
Cakung78.40129.70144.40159.50
Cakung Lama16.8022.1023.6025.20
Sumber : Olahan Hec-HMS

Gambar 2‑18. Skema Debit Hasil Analisis

Gambar 2‑19. Hidrograf Banjir Cengkareng Drain

Gambar 2 20. Hidrograf Banjir Saluran Mookervart

Gambar 2‑21. Hidrograf Banjir Sungai Angke

Gambar 2 22. Hidrograf Banjir Sungai Sepak

Gambar 2‑23. Hidrograf Banjir Sungai Pesanggrahan

Gambar 2‑24. Hidrograf Banjir Sungai Sekretaris

Gambar 2‑25. Hidrograf Banjir Sungai Grogol

Gambar 2‑26. Hidrograf Banjir Sungai Krukut

Gambar 2‑27. Hidrograf Banjir Sungai Ciliwung

Gambar 2‑28. Hidrograf Banjir Banjir Kanal Barat

Gambar 2‑29. Hidrograf Banjir Sungai Sunter

Gambar 2‑30. Hidrograf Banjir Sungai Banjir Kanal Timur

Gambar 2‑31. Hidrograf Banjir Sungai Cakung
4.8. Pengendalian Banjir Terpadu dengan Konsep Zero Debit
Analisa pendistribusian bamjir akibat hujan ini perlu dibantu dengan pemodelan hidrologi dan pemodelan hidrolika.  Pemodelan hidrolika digunakan untuk menganalisis berapa kapasitas pengaliran dari sungain yang ada, sedang pemodelan hidrologi untuk menganalisis berapa air yang dapat di tahan oleh situ atau embung serta berapa bagian air hujan yang harus ditahan di lokasi turunnya oleh sarana detensi dan retensi yang perlu dibangun untuk setiap sub-DASnya.
4.8.1.  Pendekatan Teknis
Pola pikir dan konsep pemecahan masalah di dalam meriview merencana dan merancang sistim drainase dan pengendalian banjir perlu mengacu pada Undang-undang No. 7/2004 tentang sumber daya air, yang cakupannya meliputi aspek konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air, pemberdayaan masyarakat, dan sistem informasi sumber daya air. Perencanaan dan perancangan  sistim drainase dan pengendalian banjir, merupakan salah satu aspek yang ada di dalam UU No. 7 Tahun 2004 yaitu pengendalian daya rusak air, mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan daya rusak air.  Aspek pengendalian daya rusak air adalah pengendalian banjir, pencegahan erosi dan sedimentasi, tanah longsor, dan intrusi air laut. Jadi rencana induk drainase dan pengendalian banjir perlu mengkaji dan disusun secara terpadu dan menyeluruh.  Di dalam undang-undang No. 7 Tahun 2004, diuraikan bahwa pengendalian daya rusak air merupakan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran serta masyarakat.  Masyarakat mempunyai kesempatan untuk berperan di dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap upaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan daya rusak air. Berikut ini adalah beberapa hal yang dirancang sebagai kebijakan dari pemeritah di dalam mengendalikan daya rusak air :
  1. Meningkatkan kesiapan pemilik kepentingan dalam menghadapi daya rusak air, dengan mencegah perubahan fungsi daerah manfaat sungai serta melaksanakan kebersihan lingkungan untuk kelancaran aliran air.
  2. Melindungi kawasan budidaya dari banjir, prioritas daerah pemukiman, daerah produksi dan prasarana umum.  Keterkaitan kebijakan ini terhadap lokasi pekerjaan adalah melakukan perlindungan daerah pemukiman, prasarana umum dan daerah produksi non pertanian terhadap banjir.
  3. Mengintegrasikan pengelolaan drainase perkotaan dan pengendalian banjir.
  4. Pengalokasian ruang di dalam rencana tata ruang perlu memperhatikan banjir.
  5. Melakukan pemisahan pembuangan air limbah dengan air hujan terutama pada daerah pemukiman baru.
Menghambat peningkatan besaran debit banjir dengan menerapkan konsep “zero delta Q policy”, yaitu  memasukkan norma tersebut kedalam standar, pedoman dan manual perencanaan dan pengembangan kawasan serta melakukan upaya pengendalian erosi dan sedimentasi pada daerah yang dikembangkan.
Dilihat dari sisi keseimbangan siklus hidrologi, maka dewasa ini telah terjadi degradasi sumberdaya air sedemikian tak terkendali dan dalam skala yang cukup luas, sehingga menyebabkan ke-tidak-seimbangan alam dari proses daur hidrologi seperti diindikasikan dengan meningkatnya debit banjir yang terjadi di sebagian besar DAS di Indonesia, terjadinya periode kekeringan (yang lebih lama, lebih meluas), serta menurunnya ketersediaan air permukaan serta air tanah yang dapat dimanfaatkan sebagai air baku. Disisi lain, karena keterbatasan dalam pemeliharaan sarana-prasarana bangunan air seperti bangunan pengaman sungai yang sangat terbatas, maka terdapat kondisi umum yaitu degradasi kualitas infrastruktur bangunan air yang ada. Kondisi demikian akan menyebabkan manfaat bangunan air tersebut menjadi tidak optimal. Beberapa permasalahan akibat terbatasnya perhatian dan beaya untuk operasi dan pemeliharaan bangunan keairan adalah kondisi bangunan makin rusak, tidak dapat berfungsi optimal, kemanfaatan berkurang, bisa membahayakan, dan sangat merugikan. Akan tetapi, mengingat bahwa air lebih merupakan sebagai barang sosial, maka upaya untuk meningkatkan “recovery” dari pengusahaan air akan sangat sulit. Hal demikian memerlukan pendekatan sosial dan budaya supaya keterlibatan masyarakat dapat diharapkan.   Dari karakteristik seperti tersebut di atas, maka salah satu kunci pokok dari keberhasilan pengelolaan sumberdaya air adalah keterpaduan (integrasi) pengelolaan dan keterlibatan semua parapihak. Sebagai ilustrasi dari peranan berbagai pihak (stakeholders) disajikan di atas.

Gambar 2‑32. Pengelolaan Sumber Daya Air adalah Kompleks
Ketika pengelolaan Sumber Daya Air (termasuk sarana-prasarananya) telah kehilangan integritas dan keterpaduannya, maka ke-tidak-seimbangan antara sumber daya alam, tindakan manusia (stakeholders), serta budaya masyarakat setempat dapat mengakibatkan permasalahan banjir, kekurangan air, penurunan kualitas air, dan degradasi bangunan-bangunan drainase, serta lainnya yang semakin kompleks. Pengelolaan Sumberdaya Air merupakan sesuatu yang kompleks.
Pengelolaan banjir merupakan hal yang rumit karena melibatkan banyak parapihak, nilai air masih lebih sebagai barang sosial daripada barang ekonomi (padahal tingkat kepentingan dan ketergantungan kita pada air sangat vital), serta tidak mengenal batas administrasi.
4.8.2. Pengembangan Sistem Pengendalian Banjir Terpadu
Permasalahan mendasar yang dihadapi pada sistem drainase atau pengendalian banjir perkotaan adalah meningkatnya beban sistem (debit) akibat terjadinya alih fungsi lahan, yang diperberat dengan tingginya laju sedimentasi akibat meningkatnya erosi lahan maupun sistem persampahan yang belum baik.  Di lain pihak, penyelesaian masalah banjir perkotaan dengan jalan meningkatkan kapasitas sistem, sangat sulit dilakukan karena keterbatasan lahan. Saat ini pengelolaan banjir terpadu merupakan suatu sisyim pengendalian banjir yang paling cocok.
Prinsip pengelolaan banjir terpadu adalah pengelolaan banjir yang menyeluruh melalui kegiatan fisik dan/atau non-fisik maupun penyeimbangan hulu dan hilir serta pengalokasian curah hujan pada satu DAS dan/atau beberapa DAS yang terhubung.
Penanganan aliran permukaan dilakukan menganut prinsip mengutamakan pengurangan aliran permukaan akibat air hujan pada subdas-subdas dengan mempertimbangkan kapasitas pengaliran dari sungai-sungai utama.  Sedang penanganan ROB dilakukan dengan menahan masuknya air pasang ke daratan.  Untuk mengelola banjir mengacu pada peraturan Sumber Daya Air dan Tata Ruang yang berlaku secara terpadu perlu dilakukan upaya-upaya seperti berikut ;
  • Pembangunan sarana fisik pengendali banjir merupakan upaya fisik, Kegiatan fisik dalam rangka pengelolaan banjir komprehensif dilakukan melalui pembangunan prasarana dan sarana yang ditujukan untuk mencegah kerusakan dan/atau bencana banjir.  Kegiatan fisik pengendalian banjir tersebut dapat berupa kegiatan konservasi sumber daya air dan perbaikan sungai.  Kegiatan konservasi sumber daya air ditujukan untuk mengendalikan aliran permukaan, dapat dilakukan dengan pembangunan sarana retensi dan sarana detensi, serta rekayasa pelestarian sumber daya air (check dam, terasering, reboisasim dan lainnya).  Kegiatan perbaikan sungai ditujukan untuk memaksimalkan kapasitas pengaliran sungai, dapat dilakukan dengan perbaikan alur, pembuatan tanggul dan perbaikan tebing.
  • Kegiatan non-fisik dalam rangka pengelolaan banjir komprehensif dilakukan melalui pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.  Pengaturan sebagaimana dimaksud meliputi:
    • Penetapan kawasan rawan bencana pada setiap DAS dan/atau beberapa DAS yang terhubung;
    • Penetapan sistem peringatan dini pada setiap DAS dan/atau beberapa DAS yang terhubung;
    • Penetapan prosedur operasi standar sarana dan prasarana pengendalian banjir;
    • Penetapan prosedur operasi standar evakuasi korban bencana akibat banjir.
  • Pembinaan sebagaimana dimaksud meliputi:
    • Penyebarluasan informasi dan penyuluhan pencegahan banjir;
    • Pelatihan tanggap darurat akibat adanya banjir; dan
    • Penyuluhan konsep hidup harmoni dengan banjir
  • Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi:
    • Pengawasan penggunaan lahan pada satu DAS dan/atau beberapa DAS yang terhubung;
    • Pengawasan terhadap kondisi dan fungsi sarana dan prasarana pengendalian banjir.
  • Pengendalian sebagaimana dimaksud meliputi:
    • Pengendalian penggunaan lahan pada satu DAS dan/atau beberapa DAS yang terhubung sesuai dengan kriteria dan peraturan yang bersangkutan;
    • Upaya pemindahan penduduk yang bermukim di kawasan rawan banjir.
    • Upaya Penyeimbangan Hulu-Hilir pada satu DAS dan/atau beberapa DAS yang terhubung dilakukan dengan mekanisme penataan ruang dan pengoperasian prasarana sungai sesuai dengan kesepakatan para pemilik kepentingan. Penyeimbangan hulu dan hilir adalah penyelarasan antara upaya kegiatan konservasi di bagian hulu dengan pengurangan resiko banjir di daerah hilir.  Pengelolaan banjir komprehensif pada daerah urban mengalami kendala-kendala antara lain keterbatasan lahan untuk pengembangan/pembangunan sarana dan prasarana baru, operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengendalian banjir. Hal ini mengakibatkan terbatasnya kapasitas pengaliran sungai dan/atau kanal banjir.  Dengan demikian perlu dilakukan upaya retensi dan detensi air permukaan di lokasi turunnya hujan, mengacu pada konsep zero delta Q policy. Penanganan aliran permukaan dilakukan dengan prinsip mengutamakan penanganan aliran permukaan akibat air hujan pada subdas-subdas dengan mempertimbangkan kapasitas pengaliran dari sungai-sungai utama.
Mekanisme penataan ruang dalam pengelolaan banjir komprehensif dilakukan melalui penetapan dan penerapan norma dan standar ruang yang meliputi tata letak, pola ruang (kawasan lindung, kawasan budidaya dan kawasan penyangga) dan struktur ruang (sistem pengendalian banjir).  Mekanisme penataan ruang dalam rangka pengelolaan banjir terpadu dengan pendekatan kelembagaan dan keterlibatan masyarakat dilaksanakan dengan pengendalian pemanfaatan ruang berupa aturan zonasi,  insentif dan disinsentif; perizinan yang sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang; sanksi terhadap pelanggaran yang berlaku; serta menetapkan kawasan retensi air sebagai kawasan lindung prioritas dan melaksanakan konsolidasi tanah, yang dilaksanakan per sub DAS.  Kegiatan-kegiatan tersebut di atas dilakukan dengan pendekatan kelembagaan dan keterlibatan masyarakat.
Peningkatan debit banjir akibat alih fungsi lahan dari lahan hijau menjadi lahan terbangun bisa berkali lipat, sementara peningkatan kapasitas sistem hampir tidak mungkin mengejar peningkatan debit, karena kepadatan penduduk yang meningkat terus. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengatasi permasalahan banjir di perkotaan kecuali dengan jalan membatasi beban / debit banjir yang masuk ke sistem drainase dengan menahan limpasan permukaan dilokasi turunnya air hujan.
Detensi dan retensi adalah dua upaya dalam menahan limpasan permukaan untuk menurunkan puncak banjir sehingga berkurangnya kerusakan yang di akibatkannya.  Penggunaaan dua istilah ini seringkali tertukar artinya satu dengan yang lain, meskipun keduanya mempunyai artiyang berbeda.  Kolam detensi adalah suatu kolam yang dimanfaatkan untuk menampung kelebihan air banjir yang kemudian secara perlahan dialirkan sesuai dengan penurunan aliran yang ada di saluran drainasi atau sungai.  Sehingga arti dari kolam detensi adalah kolam penampungan sementara aliran banjir, yang merupakan upaya konservasi dari cara pengendalian banjir terpadu.  Kolam retensi adalah satu upaya penampungan permanen air hujan, karena air hujan yang ditampung sebagian diresapkan, sebagian diuapkan tetapi masih diperlukan limpasan langsung sebagai pengamanan sistim.  Tujuan pemanfaatan kolam retensi dan kolam retensi adalah untuk menurunkan puncak banjir dan memperbaiki kandungan air tanah suatu wilayah.
Cara konservasi sumberdaya air  yang sudah banyak dikembangkan dan dipraktekkan adalah pengelolaan atau pemanenan air hujan (rainwater harvesting = RWH).  Konsep dasar dari metode tersebut adalah bagaimana mengelola air hujan supaya limpasan minimal, dan/atau limpasan yang masuk ke sistem saluran dapat diatur, dengan jalan meningkatkan resapan dan/atau penampungan sementara.

4.8.3. Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting = RWH)
Upaya pendistribusian banjir atau air hujan perlu menerapkan teknologi pemanenan air hujan yang tepat memungkinkan mengubah air hujan sebagai sumber bencana menjadi barang bernilai. Sebenarnya fasilitas pemenenan air hujan sudah diterapkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Hal ini terlihat pada tata permukiman tempo dulu, di mana di halaman kanan, kiri, dan belakang rumah selalu ada parit atau kolam (bhs Jawa belumbang) sebagai panampung air hujan. Juga adanya larangan mengurug sumur-sumur tua yang sudah tidak difungsikan. Konsep pemanenan air hujan adalah penerapan konsep detensi dan retensi, yaitu menahan atau menampung air hujan yang selanjutnya di serapkan ke dalam tanah.
Detensi dan retensi adalah dua upaya dalam menurunkan puncak banjir sehingga berkurangnya kerusakan yang di akibatkannya.  Penggunaaan dua istilah ini seringkali tertukar artinya satu dengan yang lain, meskipun keduanya mempunyai arti yang berbeda.  Kolam detensi adalah suatu kolam yang dimanfaatkan untuk menampung kelebihan air banjir yang kemudian secara perlahan dialirkan sesuai dengan penurunan aliran yang ada di saluran drainasi atau sungai.  Sehingga arti dari kolam detensi adalah kolam penampungan sementara aliran banjir, yang merupakan upaya konservasi dari cara pengendalian banjir terpadu.  Kolam retensi adalah satu upaya penampungan permanen air hujan, karena air hujan yang ditampung sebagian diresapkan, sebagian diuapkan tetapi masih diperlukan limpasan langsung sebagai pengamanan sistim.  Tujuan pemanfaatan kolam retensi dan kolam retensi adalah untuk menurunkan puncak banjir dan memperbaiki kandungan air tanah suatu wilayah.
Tujuan pengembangan dan penerapan fasilitas pemanenan air hujan diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Meningkatkan keberlanjutan ketersediaan air permukaan dan air tanah
  2. Konservasi air dengan menampung kelebihan air yang akan masuk sungai dan mengurangi air yang terbuang percuma ke laut selama musim penghujan
  3. Mengamankan kawasan perkotaan maupun perdesaan dari banjir dengan menahan air di daerah tangkapannya
  4. Menurunkan laju erosi
  5. Memperbaiki lingkungan perkotaan maupun perdesaan
  6. Memperbaiki kualitas air.
Komponen di dalam sistim pemanenan air hujan, adalah seperti berikut.
  1. Hujan : hujan merupakan sumber air yang dipanen
  2. Daerah tangkapan: areal di mana hujan terjadi
  3. Sistem pembawa : fasilitas yang membawa air dari daerah tangkapan ke peresapan atau penampungan
  4. Fasilitas penyimpanan : di permukaan tanah, di bawah permukaan tanah, atau akifer.
4.9. Kondisi Eksisting Sungai
Berikut ini adalah gambaran kondisi existing pada masing2 sungai yang ditunjukkan dengan potongan memanjang disertai dengan beberapa cross section sungai. Analisis dilakukan pada sungai dengan penampang sesuai kondisi existing. Sesudah itu dilakukan analisa sesuai dengan konsep/usulan penanganan banjir pada masing-masing sungai. Berikut ini adalah hasil analisa yang telah dilakukan.


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar