Cari di Website Ini

Selasa, 07 Januari 2014

Masterplan Pengendalian Banjir Jakarta (2)

Sumber: Review Masterplan Pengendalian Banjir dan Drainase, Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, 2009.

5. Konsep Pengendalian Banjir di DKI  Jakarta
Penanggulangan banjir dilakukan dengan kegiatan yang ditujukan untuk meringankan penderitaan akibat bencana. 


Pelaksanaan penanggulangan kerusakan dan/atau bencana akibat banjir tersebut dikoordinasikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah, provinsi, atau kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemulihan akibat bencana dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang ditujukan untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup serta sistem prasarana sumber daya air. Pemulihan fungsi lingkungan hidup dan pemulihan sistem prasarana sumber daya air tersebut diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.
Peningkatan kesiapan dan ketahanan pemilik kepentingan menghadapi segala akibat banjir dan perubahan iklim global. Masyarakat perlu menyadari dan memahami gejala perubahan iklim global yang saat ini tengah berlangsung, dan mengetahui langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk menghadapi permasalahan tersebut. Langkah-langkah antisipatif yang dilakukan Pemerintah dalam menghadapi gejala perubahan iklim ini perlu diketahui oleh masyarakat.
Perlindungan dan pengamanan kawasan budidaya dari bencana banjir dengan urutan prioritas daerah permukiman, daerah produksi, dan prasarana umum. Daerah permukiman perlu mendapatkan prioritas dalam perlindungan dan pengamanan dari bencana banjir, karena kerugian yang terjadi di kawasan tersebut bukan hanya berupa harta-benda yang sangat bernilai, melainkan juga ada resiko jatuhnya korban jiwa. Daerah produksi yang dapat berupa kawasan industri, perdagangan, maupun lahan pertanian, mendapatkan prioritas kedua, karena kerugian yang terjadi akibat bencana daya rusak air dapat menyebabkan kerugian material berupa penurunan atau kegagalan produksi. Perlindungan untuk prasarana umum, meskipun mendapatkan prioritas yang terakhir, tetapi sangat penting dilakukan karena gangguan terhadap prasarana umum berarti juga gangguan terhadap kelancaran kegiatan sosial dan ekonomi.
Berdasarkan kebijakan seperti yang disampaikan, maka untuk meningkatkan pengendalian dan mengurangi resiko akibat banjir perlu dilaksanakan serangkaian strategi sebagai berikut :
1. Dalam hal pencegahan bencana akibat banjir:
a. Mencegah terjadinya peningkatan banjir melalui pengaturan dan pengendalian aliran air di sumber air.
b. Menghambat peningkatan besaran debit banjir dengan berbagai cara peresapan air hujan ke dalam tanah.
c. Melakukan penataan ruang dan pengaturan pengoperasian prasarana sumber daya air pada wilayah sungai, untuk menjaga keseimbangan antara hulu dan hilir.
d. Meningkatkan penegakan hukum secara konsisten atas pelanggaran tata ruang, tata kota dan tata bangunan.
e. Mengendalikan pemanfaatan lahan untuk perkotaan, perumahan, industri dan keperluan lainnya dengan penerapan rasio lahan terbangun.
f. Menerapkan mekanisme insentif-disinsentif antara daerah hulu dan daerah hilir.
g. Mempertahankan fungsi lahan basah, sebagai prasarana pengendali banjir dan pemurnian air secara alamiah sesuai daya dukungnya.
h. Melakukan pencegahan perubahan fungsi daerah manfaat mata air, palung sungai dan daerah sempadan menjadi tempat bangunan sementara, tanaman keras dan kegiatan yang mengganggu aliran.
2. Dalam hal penanggulangan banjir
a. Menyusun dan menetapkan prusedur operasi lapangan penanggulangan kerusakan dan/atau bencana akibat banjir pada sumber air di wilayah sungai.
b. Menyosialisasikan prosedur operasi lapangan penanggulangan kerusakan dan/atau bencana akibat daya rusak air kepada masyarakat.
c. Meningkatkan kemampuan dan kesiap-siagaan badan penanggulangan bencana nasional, propinsi, dan kabupaten/kota dalam menghadapi terjadinya bencana di wilayah tugas masing-masing.
d. Mengalokasikan jumlah anggaran yang memadai untuk penanggulangan banjir yang bersumber dari dana APBN dan/atau APBD serta sumber dana lain yang sah.
3. Dalam hal pemulihan akibat bencana
a. Merehabilitasi kerusakan, baik secara struktural maupun nonstruktural.
b. Menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dan swasta dalam kegiatan pemulihan akibat bencana.
4. Dalam hal peningkatan kesiapan dan ketahanan pemilik kepentingan
a. Menerapkan sistem peringatan dini kepada masyarakat, yaitu memberikan peringatan kepada masyarakat segera apabila diperkirakan bahwa bencana akan terjadi.
b. Menyiapkan sistem evakuasi dan menyelenggarakan simulasi menghadapi banjir sekali dalam setahun.
c. Mendorong gerakan kebersihan lingkungan agar tidak membuang limbah padat/sampah yang menghambat pengaliran air menjelang musim hujan.
d. Meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap bahaya daya rusak air sebagai akibat perubahan iklim global.
5. Dalam hal perlindungan dan pengamanan kawasan budidaya
a. Meningkatkan pemberian informasi mengenai kawasan rawan bencana akibat banjir.
b. Melakukan perlindungan daerah permukiman, prasarana umum, dan daerah produksi nonpertanian dengan prasarana pengendalian banjir terhadap banjir tahunan dengan resiko sama atau lebih besar 4 (empat) persen serta perlindungan daerah produksi pertanian terhadap banjir dengan resiko sama atau lebih besar 10 (sepuluh) persen.
c. Mengintegrasikan pengelolaan drainase perkotaan, pengendalian limpasan langsung di tingkat kawasan dengan prasarana pengendalian banjir.
d. Melakukan pemisahan prasarana pembuangan limbah cair dan drainase, terutama pada daerah pengembangan baru.

5.1. Pengendalian Banjir Berbasis Tata Ruang
Berdasarkan Undang-Undang no.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan yang diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), terdapat 3 Kawasan Andalan di sektar DKI Jakarta, yaitu Kawasan perkotaan Jakarta dsk, Kawasan Bopunjur dsk dan Kawasan andalan laut P.Seribu, dengan sector unggulan industry, pariwisata, perikanan, perdagangan, jasa, dan pertambangan. Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) termasuk Kepulauan Seribu ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional yang memerlukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu. Kawasan strategis nasional dimaksudkan sebagai kawasan yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Sebagai tindak lanjut dari PP no 26 tahun 2008 tersebut, khususnya untuk wilayah DKI Jakarta dan kawasan Depok, Tangerang, Bekasi, Bogor, Puncak dan Cianjur pada tanggal 12 Agustus 2008 telah diterbitkan Peraturan Presiden No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur.
Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dari penatan ruang di wilayah Jabodetabekpunjur adalah untuk mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan, untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir. Sedang sasaran dari penataan ruang di Jabodetabekpunjur antara lain adalah tercapainya kesepakatan antar daerah untuk mengembangkan sektor dan kawasan prioritas menurut tingkat kepentingan bersama.
Peraturan Presiden ini meliputi kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana tata ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, arahan pemanfaatan ruang, arahan pengendalian pemanfaatan ruang, pengawasan pemanfaatan ruang, kelembagaan, peran masyarakat, dan pembinaan. Penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur memiliki peran sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembangunan yang berkaitan dengan upaya konservasi air dan tanah, upaya menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, penanggulangan banjir, dan pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.
Strategi penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur adalah mendorong terselenggaranya pembangunan kawasan yang dapat menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan.
Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur berisi rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Didalam rencana struktur ruang terdiri atas sistem pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana, dimana jaringan prasarana termasuk sistem drainase dan pengendalian banjir serta sistem pengolahan sampah.
Didalam arahan pengembangan sistem jaringan prasarana drainase dan pengendalian banjir diarahkan untuk mengurangi bahaya banjir dan genangan air bagi kawasan permukiman, industri, perdagangan, perkantoran, dan persawahan, serta jalan.
Lokasi dari kawasan strategis nasional Jabodetabekpunjur dapat dilihat pada Gambar 2.33 berikut.

Gambar 2 33. Kawasan Strategis Nasional Jabodetabekpunjur

Dari Gambar diatas dapat dicatat bahwa :
  1. Kawasan strategis nasional Jabodetabekpunjur berada seluruhnya di Wilayah Sungai Nasional Cidanau-Ciujung-Cidurian-Cisadane-Ciliwung-Citarum
  2. Kawasan berada di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten
  3. Ibukota Negara berada di kawasan ini
Dari pertimbangan tersebut diatas maka perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan Jabodetabekpunur harus dilaksanakan secara terpadu antar sektor, antar wilayah dan antar pemangku kepentingan.
Strategi drainase dan pengendalian banjir dilaksanakan dengan pengelolaan sungai terpadu dengan sistem drainase wilayah, pengendalian debit air sungai dan peningkatan kapasitas sungai, peningkatan fungsi situ-situ dan waduk sebagai daerah penampungan air dengan sistem polder, pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan lindung dan kawasan budi daya yang dilaksanakan dengan ketat di kawasan hulu hingga sepanjang daerah aliran sungai, pembuatan sudetan sungai, dan pengendalian pembangunan di sempadan sungai. Pengembangan sistem jaringan prasarana drainase dan pengendalian banjir di kawasan Jabodetabekpunjur dilakukan melalui upaya-upaya :
  • rehabilitasi hutan dan lahan serta penghijauan kawasan tangkapan air;
  • penataan kawasan sempadan sungai dan anak-anak sungainya;
  • normalisasi sungai-sungai dan anak-anak sungainya;
  • pengembangan waduk-waduk pengendali banjir dan pelestarian situ-situ serta daerah retensi air;
  • pembangunan prasarana dan pengendali banjir; dan
  • pembangunan prasarana drainase.
Sistem pengelolaan persampahan dikembangkan secara terpadu di Kawasan Jabodetabekpunjur melalui :
  1. kerja sama antar daerah dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
  2. strategi pengelolaan persampahan Kawasan Jabodetabekpunjur diselenggarakan dengan pemanfaatan kembali, daur ulang, dan pengolahan sampah dengan memperhatikan kriteria teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. arahan pengelolaan persampahan terpadu pada Kawasan Jabodetabekpunjur harus memperhatikan penentuan lokasi tempat pembuangan akhir dan pengolahan sampah terutama incinerator yang tidak mencemari lingkungan.
  4. penentuan lokasi tempat pembuangan akhir di Kawasan Jabodetabekpunjur harus memperhatikan daya tampung dan volume sampah domestik dan nondomestik dari Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, dan Cianjur serta berada pada jarak aman yang tidak mencemari lingkungan di sekitarnya.
Matriks sistem jaringan prasarana drainase, pengendalian banjir dan pengelolaan sampah, upaya yang dapat dilakukan, Pemerintah Daerah Provinsi terkait dan instansi terkait dapat diperiksa pada Table 2.1.
5.2. Usulan Optimasi Tata Ruang
Permasalahan di Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane yang terkait dengan banjir di DKI Jakarta adalah terjadinya perubahan penggunaan lahan di kawasan Bopunjur dan Jabodetabek, yang diyakini memberikan dampak negatif terhadap terjadinya banjir di DKI Jakarta. Tabel berikut adalah perubahan penggunaan lahan di sebagian WS hulu Ciliwung-Cisadane, yang masuk dalam kawasan Bopunjur dan perubahan penggunaan lahan di Jabodetabek dalam kondisi eksisting (2001) dengan Rakeppress Jabodetabek (2002).

Kawasan Bopunjur merupakan kawasan yang terkait erat dengan kepentingan nasional, Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor dan kepentingan dunia usaha. Karena itu, perlu adanya strategi perencanaan yang dapat mengakomodasi seluruh kepentingan tersebut. Kondisi perkembangan pembangunan di kawasan Bopunjur pada dasarnya adalah bahwa telah terjadi konflik kepentingan diantara seluruh pelaku pembangunan dikawasan ini. Kecenderungan perkembangan kota-kota di Kawasan Bopunjur dipengaruhi oleh :
  1. Perubahan struktur ekonomi ke sektor industri pada lokasi zona industri dan kawasan industri dengan akses ke Kota Cibinong, Citeureup dan Gunung Putri.
  2. Meningkatnya kebutuhan perumahan yang mendorong pembangunan real estate skala menengah dan besar serta pembangunan kota baru Sentul.
  3. Efisiensi pemanfaatan lahan perkotaan yang dinilai dan harganya makin mahal, menyebabkan peluang perkembangan kota di wilayah sekitarnya, baik yang terencana maupun yang tak terkendali seperti terjadi di seluruh kawasan Bopunjur, kecuali di kecamatan Cisarua dan Megamendung yang dikendalikan terbatas dalam pengembangannya.

5.3. Prasarana Pengendali Banjir
5.3.1. Retensi dan Detensi Aliran Permukaan (Situ/Waduk)
1. Gambaran Umum
Situ telah dibangun sejak pertengahan abad ke -18, dimana pembangunan situ dimaksudkan untuk penyediaan air bagi irigasi pada musim kemarau. Pembangunan situ dimulai dengan telah diselesaikannya saluran Slokkan Timur pada tahun 1753, yang mengambil air dari sungai Ciliwung pada pengambilan di udik bendung Katulampa. Namun pada kenyataannya pada musim kemarau debit sungai Ciliwung sangat kecil sehingga tidak dapat menyediakan air yang cukup bagi daerah persawahan yang diairi dari Slokkan Timur.
Situ – situ kemudian banyak dibangun pada alur atau lembah yang menyempit dimana pada musim hujan mengalir parit kecil. Dengan membangun tanggul maka terbentuk kolam tandon yang dapat diisi dari saluran Slokkan Timur. Bangunan situ banyak dijumpai disebelah selatan Jakarta sampai Depok dan Cibinong. Meskipun pada saat ini fungsi situ tersebut sudah banyak berubah karena berkurangnya lahan pertanian. (sumber : Perkembangan Pembangunan Pengairan di Indonesia, Dep PU 1999 / 2000, Ir. Soebandi Wirosoemarto ) .
Dengan berkembangnya kota Jakarta, demikian pula dengan meningkatnya penduduk serta pertumbuhan daerah permukiman yang menjadi daerah perkotaan, maka kebanyakan situ pada saat ini sudah berubah fungsi. Banyak situ umumnya menjadi tempat wisata atau pemeliharaan ikan, namun banyak pula yang sudah hilang karena diurug untuk menjadi daerah perumahan.
Sesudah terjadinya banjir pada bulan Februari 2002, dibuat Rencana Penanganan Pasca Banjir Jabodetabekjur 2002 atau yang disebut sebagai program 2002 direncanakan untuk merehabilitasi situ-situ dan pembangunan waduk Halim.
Program tersebut merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mengoptimalkan keberadaan situ-situ sebagai pengendali banjir. Optimalisasi situ tersebut merupakan bagian dari konsep Pengelolaan Aliran Permukaan (Storm Water Management) dimana air hujan yang turun ditahan selama mungkin di suatu tempat sebelum masuk ke saluran pembuangan. Diharapkan aliran air hujan yang menjadi limpasan dan masuk kedalam saluran pembuangan atau sungai berkurang jumlahnya untuk mengurangi besar banjir pada daerah aliran pembuangan atau sungai tersebut.
2. Permasalahan Situ
Keberadaan situ yang dibangun pada abad ke 18 tersebut pada saat ini mengalami berbagai masalah, antara lain :
  • berkurangnya lahan pertanian yang diairi dari situ,
  • penggantian pengelola atau penyerahan pengelolaan kepada instansi lain,
  • kerusakan daerah tangkapan air yang disebabkan peningkatan pemukiman di daerah genangan atau disekitar situ yang mengakibatkan berkurangnya luas genangan situ,
  • pembangunan pemukiman yang tidak mempertimbangkan lingkungan,
  • sedimentasi yang terjadi karena kerusakan hutan di daerah hulu yang mengakibatkan erosi,
  • gulma di daerah genangan ,
  • adanya kerusakan pada bangunan pelengkap situ.
Pada tahun 2004 dibuat Kesepakatan Bersama oleh 7 ( tujuh ) pemerintah daerah yang terdiri dari : Kota Bekasi, Depok, Bogor dan Tangerang serta Kabupaten Bekasi, Bogor dan Tangerang, untuk melaksanakan kegiatan melindungi dan melestarikan situ-situ yang ada di daerah Jabodetabek.
Sampai dengan tahun 2010 telah diformulasikan program yang akan dilaksanakan oleh setiap Pemda yang terdiri dari tahap perlindungan, perencanaan, monitoring dan evaluasi. Program tersebut meliputi pula kegiatan inventarisasi, sertifikasi, pelimpahan kewenangan kepada Pemerintah Daerah, survey dan investigasi pengembangan situ-situ, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan situ-situ, operasi dan pemeliharaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan situ-situ.
Dalam Rencana Aksi Penanganan Masalah Banjir 2007 Jabodetabekjur yang dibuat pada tanggal 10 Februari 2007 , maka tugas Pemda DKI Jakarta terkait situ-situ, adalah merehabilitasi, mengelola dan membangun situ-situ didalam wilayah DKI Jakarta, sedang tugas Departemen Pekerjaan Umum adalah merehabilitasi, mengelola dan membangun situ-situ di Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane. Demikian pula dengan Pengembang Pemukiman mempunyai kewajiban untuk membangun situ-situ baru didalam wilayah pemukiman yang dikembangkan sesuai Tata Ruang. Pengelolaan situ-situ baru yang berada dibawah Pengembang Pemukiman diatur dengan Perda yang ada di masing-masing daerah atau diserah terimakan kepada Pemda setempat.
3. Pengertian
Situ-situ selain terdapat diwilayah selatan Jakarta, didaerah Depok dan Cibinong, maka telah dibangun pula situ-situ yang terletak di dataran rendah Jakarta. Dari karakteristik pembangunannya, situ-situ ini berbeda dengan situ-situ yang dibangun di wilayah selatan Jakarta atau di daerah dengan elevasi tinggi. Situ di dataran rendah Jakarta awalnya berupa daerah cekungan atau daerah depresi yang terisi air, dan kemudian dikembangkan atau diperluas untuk memperoleh kapasitas tampungan atau volume yang lebih besar.
Di dataran rendah Jakarta, situ dibangun dengan cara menggali tanah dasar untuk kolam tampungannya, dengan demikian perbedaan tinggi tekanan antara aliran diatas pelimpah dengan daerah sekitarnya rendah. Sedang di daerah dengan elevasi tinggi, pembuatan situ dilakukan dengan cara membuat tanggul pada alur sungai kecil atau celah antara dua dataran tinggi, bangunan pelimpah pada situ tipe ini umumnya mempunyai beda tinggi tekanan terhadap daerah sekitarnya cukup besar. Dengan perbedaan tinggi tekanan cukup besar tersebut, maka apabila terjadi keluarnya aliran bertekanan tidak terkendali akan sangat besar potensi bahayanya.
Disamping dibangun situ yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, maka dibangun pula situ-situ atau waduk tampungan di dataran rendah Jakarta yang berfungsi sebagai tempat menampung air drainasi daerah sekitarnya. Sistim ini diterapkan pada daerah dengan elevasi rendah sehingga pembuangan air ke badan air dihilirnya dengan menggunakan graviti tidak dapat dilakukan. Daerah dengan elevasi rendah didesain sebagai kawasan polder yang merupakan kawasan dimana drainasinya ditampung pada waduk yang dibangun di areal terpilih dalam kawasan tersebut. Air yang ditampung di waduk polder hanya dapat dibuang ke sungai didekatnya dengan menggunakan pompa.
Pengertian atau definisi situ diambil berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, sebagai berikut :
  1. Situ adalah suatu wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya berasal dari tanah atau air permukaan sebagai siklus hidrologis yang merupakan salah satu bentuk kawasan lindung.
  2. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
  3. Waduk retensi di DKI Jakarta mempunyai pengertian yang sama dengan situ.
Sedang untuk pengertian waduk yang berada di dalam kawasan polder sebagai berikut :
Waduk polder adalah wadah yang menampung air drainasi dari kawasan polder dengan dibangunnya tampungan berupa galian pada tanah dasar, dan di alirkan keluar dengan pompa .
Terkait dengan situ-situ, maka beberapa Ketentuan Umum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air disebutkan disini antara lain adalah :
  1. Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya .
  2. Air adalah semua air yang terdapat pada , di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
  3. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan / atau buatan yang terdapat pada , di atas, ataupun di bawah permukaan tanah.
  4. Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 72 / PRT / 1997 Tentang Keamanan Bendungan dapat disebutkan disini beberapa pengertian yang terkait dengan situ-situ, antara lain adalah :
  1. Bendungan adalah setiap bangunan penahan air buatan, jenis urugan atau jenis lainnya yang menampung air atau dapat menampung air, termasuk pondasi, bukit / tebing tumpuan, serta bangunan pelengka dan peralatannya, yang dalam pengertian ini termasuk juga bendungan limbah galian, tetapi tidak termasuk bendung dan tanggul.
  2. Bangunan pelengkap dan peralatannya adalah bangunan atau komponennya dan fasilitas yang secara fungsional berkitan dengan bendungan, antara lain berupa bangunan pelimpah, bangunan pengeluaran, bangunan sadap utama dan conduit, pintu air dan fasilitas pembangkit tenaga listrik yang merupakan bagian dari bendungan, termasuk semua peralatan bendungan,
  3. Waduk adalah wadah yang dapat menampung air baik secara alamiah maupun buatan karena dibangunnya bendungan.
  4. Klasifikasi Bahaya Bendungan adalah peringkat bahaya bendungan yang didasarkan pada kepadatan hunian dan tingkat pengembangan bagian hilir yang terpengaruh oleh banjir bila terjadi keruntuhan bendungan.
Ruang lingkup pengaturan keamanan bendungan berlaku untuk bendungan yang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 72 / PRT / 1997 Tentang Keamanan Bendungan sebagai berikut :
  1. bendungan yang mempunyai ketinggian 15 meter atau lebih, diukur dari dasar lembah terdalam dan dengan daya tampung sekurang-kurangnya 100.000 meter kubik ; atau
  2. bendungan yang mempunyai ketinggian kurang dari 15 meter, diukur dari dasar lembah terdalam dan dengan daya tampung sekurang-kurangnya 500.000 meter kubik; atau
  3. bangunan penahan air lainnya di luar ketentuan yang disebut dalam butir a dan atau b ayat ini yang ditetapkan oleh Komisi Keamanan Bendungan.
4. Situ di Bawah Pengelolaan Dinas PU DKI Jakarta
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas PU DKI Jakarta , dapat disampaikan nama dan kondisi situ dan waduk retensi / detensi yang berada dibawah pengelolaan Dinas PU DKI Jakarta. Tercatat terdapat sekitar 18 situ dan 14 waduk retensi yang dikelompokkan sebagai berikut.

Luas seluruh tampungan situ dan waduk retensi eksisting ( 30 lokasi ) yang telah diinventarisir sebesar 149,92 ha , sedang total seluruh tampungan rencana sebesar 325,70 ha yang berarti sekitar 2 kali lipat luas tampungan yang ada.
Kondisi situ-situ dan waduk retensi di DKI Jakarta pada umumnya diklasifikasikan sebagai ”aman ” , kecuali situ Pedongkelan ( Arman ) yang diklasifikasikan berpotensi menimbulkan bahaya yang dapat mengancam pemukiman di daerah hilirnya.
Saat ini beberapa situ sedang dalam perencanaan pengembangan dengan perluasan daerah genangan yang akan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain yaitu :

Kajian dan inventarisasi situ-situ eksisting maupun potensial yang berada di DAS yang masuk wilayah DKI Jakarta telah mulai dilaksanakan pada tahun 2007, yaitu untuk DAS kali Pesanggrahan, kali Sunter, kali Cipinang dan DAS kali Krukut. Jumlah situ-situ eksisting hasil inventarisasi di empat DAS sebanyak 30 lokasi, sedang situ potensial berjumlah sekitar 21 lokasi.
5. Situ di Wilayah Jabodetabek yang Masuk Dalam DAS Sungai di DKI Jakarta
Berdasarkan studi Western Java Environmental Management Project (WJEMP) yang dilaksanakan pada tahun 2005 oleh Nippon Koei bekerja sama dengan Kwarsa Hexagon, telah diidentifikasi sekitar 149 (seratus empat puluh sembilan) situ yang terletak di wilayah DKI Jakarta, yang terdiri dari 134 situ eksisting dan sekitar 15 situ potensial dengan total area 394,2 ha. Jumlah total seluruh situ eksisting di wilayah Jabodetabek berjumlah sekitar 1016 dengan jumlah situ potensial sebanyak 310 lokasi. Identifikasi situ-situ tersebut dilakukan dengan menggunakan penginderaan jarak jauh.
Berikut ini adalah tabel jumlah situ dan luas area yang terletak di DKI dan beberapa Kota dan Kabupaten yang diperoleh dari studi tahun 2004 tersebut (Tabel 2.14).

Data yang diperoleh dari BBWS-CC pada studi ini di tahun 2004, terdapat 18 situ dan 17 waduk polder di DKI Jakarta, sehingga dalam Project Data Base (PDB) jumlah situ yang dicantumkan hanya sebanyak 18 lokasi. Sedang hasil situ mapping dengan metoda penginderaan jauh, diperoleh sekitar 149 lokasi situ seperti yang dapat diperiksa pada Tabel 2.12. Jumlah seluruh situ tersebut cukup besar dan dapat dipertimbangkan sebagai potensi yang besar apabila seluruh situ dapat difungsikan untuk pengendalian banjir.

Dari sejumlah 134 lokasi situ eksisting di wilayah DKI Jakarta berdasarkan studi WJEMP Pusat tahun 2005 (yang diidentifikasi menggunakan penginderaan jarak jauh ), maka diperkirakan jumlah situ yang ada di DKI lebih kecil. Dengan meniadakan identifikasi situ yang berupa lapangan golf serta tempat wisata seperti Ancol dan waduk – waduk yang ada didalam kawasan polder, maka jumlah situ eksisiting di DKI Jakarta sekitar 56 buah. Sedang situ potensial di DKI Jakarta diperkirakan hanya sekitar 23 buah.
Situ yang berada di wilayah DKI Jakarta umumnya dipertimbangkan sebagai bagian dari pengendalian banjir , dengan demikian maka sejumlah situ lain yang terletak di DAS sungai – sungai yang masuk DKI Jakarta dapat diperhitungkan pula sebagai bagian dari pengendali banjir. Lokasi situ yang masuk dalam daerah aliran sungai yang masuk Wilayah DKI Jakarta tersebut umumnya terletak pada Kota atau Kabupaten lain yang masuk wilayah Provinsi Jawa Barat atau masuk dalam wilayah Provinsi Banten.
Untuk wilayah DKI Jakarta tabulasi situ dan jumlahnya dapat diperiksa pada tabel 2.16. untuk situ eksisting dan untuk situ potensial pada tabel 2.17. Berdasarkan lokasinya maka situ eksisting yang terletak di Jakarta Utara sekitar 10 buah, Jakarta Barat 5 buah,Jakarta Selatan 9 buah, Jakarta Timur 30 buah dan Jakarta Pusat 2 buah, dengan jumlah total 56 buah. Luas daerah genangan total situ eksisting sebesar 188,19 ha, dengan rencana pengembangan dari beberapa situ di wilayah DKI Jakarta menjadi sebesar 303,8 ha atau sekitar 1,6 kali.
Saat ini terdapat sekitar 21 lokasi yang diidentifikasi sebagai berpotensi untuk situ yang terletak di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Kondisi topografi di daerah tersebut merupakan daerah rawa-rawa atau daerah depresi yang memungkinkan untuk dibangun menjadi situ. Luas daerah genangan total situ potensial sebesar 104,52 ha.
Dengan adanya situ potensial, maka luas daerah genangan situ eksisting ditambah rencana pengembangan maka dapat diperoleh sekitar total luas 408,32 ha. Apabila diperkirakan setiap situ dapat berfungsi sebagai situ detensi dengan kedalaman air sekitar 1,0 m sampai 1,50 m maka jumlah air yang dapat ditahan oleh seluruh situ pada 1 kali waktu banjir sekitar ± 4,0 juta m3 sampai 6,0 juta m3, dimana jumlah yang dapat ditahan oleh situ eksisting pada saat ini sekitar ± 2,0 juta m3 sampai 3,0 juta m3 atau sekitar setengahnya.
Didalam DAS Ciliwung, terdapat sekitar 38 situ sebelum masuk Muara Karang, dengan luas total daerah genangan sebesar 173,37 ha, atau hampir sama dengan luas total situ eksisting DKI Jakarta sebesar 188,19 ha. Jumlah tersebut lebih kurang sama dengan jumlah banjir yang dapat ditahan oleh situ-situ di DKI Jakarta.
Dalam rangka Master Plan DKI Jakarta tahun 2030, pengembangan situ-situ dapat dilakukan secara bertahap, dimulai dengan rehabilitasi, pelestarian dan pengelolaan situ-situ eksisting dimana jumlah situ eksisting tersebut meliputi 56 buah. Pengembangan yang diterapkan pada beberapa situ dengan memperluas daerah genangan maupun pembangunan baru situ dan waduk retensi, dapat dilakukan pada tahun-tahun berikutnya dalam waktu yang bersamaan.
Perlu dipertimbangkan pula penggunaan waduk atau situ retensi untuk manfaat lain selain pengendalian banjir, yaitu sebagai penyedia air baku maupun sebagai waduk resapan atau recharge bagi sumur penduduk dan recharge bagi muka air tanah di daerah disekitarnya.


6. Fungsi Situ
a. Fungsi Umum
Pada umumnya situ-situ dan beberapa waduk di wilayah DKI Jakarta difungsikan sebagai situ dan waduk retensi untuk merecharge daerah sekitarnya .Fungsi tersebut terkait dengan fungsi kawasan konservasi didaerah hulu sungai yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Dengan terbangunnya kawasan tersebut, maka luas daerah resapan air menjadi berkurang dan berubah menjadi permukiman . Untuk menambah daerah resapan air maupun penggunaan situ sebagai bagian pengendalian banjir, diperlukan beberapa tindakan .
Disamping fungsi diatas maka fungsi situ dapat dikelompokkan sebagai berikut :
  • tempat parkir air / banjir
  • recharge
  • penyediaan air baku
  • budi daya perikanan
  • wisata atau fungsi sosial lainnya
  • pelestarian lingkungan.
Dalam konsep Pengelolaan Aliran Air Permukaan (Storm Water Management), yaitu pengendalian aliran air pada sumbernya dengan menggunakan prinsip ” tidak ada penambahan aliran ” dari keadaan sebelum ada pembangunan, misalnya pembangunan pemukiman baik di dataran banjir maupun di kawasan resapan. Pengendalian aliran air tersebut dapat diterapkan pada berbagai tempat misalnya : rumah perorangan, komplek perumahan atau daerah komersial dan daerah aliran sungai.
Dengan mengoptimalkan fungsi situ diharapkan run off air hujan yang turun dapat ditahan sebelum masuk ke badan air atau sungai. Selanjutnya aliran air hujan yang menjadi limpasan dan masuk kedalam badan air atau sungai akan berkurang jumlahnya, dengan cara memangkas besar puncak banjir yang terjadi di daerah aliran sungai tersebut.
Berdasarkan konsep tersebut, situ-situ dimanfaatkan untuk dapat dioptimalkan fungsi detensi dan fungsi retensinya. Fungsi detensi yaitu menahan air hujan berlebih di dalam suatu ruang pengontrol untuk suatu jangka waktu tertentu sampai air hujan dapat disalurkan ke badan air atau sungai . Dengan demikian kapasitas badan air atau sungai tersebut tidak terlampaui dan banjir dapat dihindarkan.
b. Fungsi Retensi

Situ dengan fungsi retensi diharapkan dapat menggantikan atau menambah infiltrasi ke dalam tanah. Berkurangnya lahan terbuka yang menjadi pemukiman dan perkotaan mengakibatkan berkurangnya resapan atau infiltrasi air hujan. Dengan kapasitas atau kemampuan situ dalam menampung air, diharapkan dapat meningkatkan infiltrasi.
Pada situ dengan dasar tampungan semi lulus air, maka air dapat meresap kedalam tanah dalam waktu yang relatif singkat dan jumlah yang relatif cukup besar. Tidak seluruh situ mempunyai karakteristik yang sama dalam fungsi resapan atau infiltrasi, terutama yang dibangun diatas tanah kedap air atau lempung. Demikian pula untuk situ-situ yang digunakan atau dimanfaatkan sebagai kolam ikan atau wisata, maka fungsi retensi tidak dapat diandalkan sebagai bagian dari pengendalian banjir.
Untuk mengoptimalkan fungsi recharge dalam tampungan situ retensi, disarankan untuk mengadakan penyelidikan pada tanah dasar atau tampungan untuk mengetahui keberadaan jenis tanah dasar berupa lapisan porous yang berada dibawah lapisan kedap air. Pada kelompok situ yang mempunyai lapisan porous ini diberi beberapa pipa perforated yang ditanam pada dasar sampai kedalaman lapisan porous. Dengan pipa porous ini diharapkan air yang masuk dalam tampungan situ dapat diteruskan sebagai recharge kedalam lapisan lulus air tersebut.
Fungsi situ yang diperoleh dengan cara ini adalah fungsi recharge dan fungsi detensi. Dianggap fungsi detensi, karena air yang tertampung diteruskan ke lapisan porous dibawahnya sehingga permukaan air situ diharapkan tidak pernah tinggi.
c. Fungsi Detensi
Dalam laporan Western Java Environmental Management Project (WJEMP) Pusat 3 – 10, tahun 2005, telah dilakukan analisa pengurangan puncak banjir dengan cara mengoptimasi dimensi outlet situ-situ. Analisa dilakukan dengan menggunakan HMS model pada sekitar 64 bangunan outlet situ-situ. Bangunan outlet yang dimaksud adalah pelimpah dan pintu, sedang peningkatan volume dibatasi oleh luasan masing-masing situ.
Sebagai contoh, pada beberapa situ, lebar pelimpah dapat dikurangi menjadi 0,00 m atau tidak diperlukan pelimpah sama sekali untuk meningkatkan fungsi detensi situ. Namun hal ini akan mengurangi nilai keamanan dari bangunan situ terutama tanggul maupun keamanan pemukiman di daerah hilirnya.
Untuk menghitung fungsi detensi situ diperlukan dimensi bangunan outlet yang ada, luas genangan dan tinggi muka air diatas mercu pelimpah. Dari data yang ada maka dimensi bangunan outlet hanya meliputi lebar pelimpah dan lebar pintu pengeluaran, tidak diperoleh besaran elevasi atau ketinggian mercu pelimpah maupun pintu terhadap elevasi tanggul. Ketinggian muka air diatas mercu pelimpah untuk keperluan analisa akan dilakukan dengan asumsi.
Untuk mengasumsi tinggi muka air diatas pelimpah, dapat dipertimbangkan penggunaan kriteria bangunan embung dimana ditetapkan tinggi jagaan minimum 0,50 m. Bangunan embung yang dimaksud adalah bangunan dengan tinggi tanggul sekitar 10,00 m dan volume 500.000 m3 . Dengan tinggi jagaan 0,50 m maka tinggi muka air yang diperhitungkan untuk situ dengan luas genangan lebih kecil dari 1 ha, diperkirakan sebesar 0,25 m. Sedang untuk situ dengan luas antara 10 ha sampai 30 ha diperkirakan berkisar antara 0,50 m sampai 1,00 m.
Dalam WJEMP 3 – 10, telah dilakukan optimasi fungsi detensi pada situ-situ yang terletak pada DAS Banjir Kanal Barat dan sub DAS K. Krukut dengan model HMS. Optimasi fungsi detensi yaitu meningkatkan volume banjir yang dapat ditahan pada situ-situ dengan memperkecil dimensi bangunan outletnya, seperti pengurangan lebar pelimpah situ Babakan dari 4,5 m menjadi 1,0 m.
Dari hasil optimasi tersebut pengaruh penurunan debit puncak sungai di hilirnya yaitu, untuk sub daerah aliran K. Krukut dengan 6 situ perbedaan debit puncak sesudah optimasi sebesar 1,2 % dan untuk daerah aliran sungai Ciliwung – Banjir Kanal Barat diperoleh angka sebesar 1 %. Dari hasil analisa disimpulkan bahwa optimasi fungsi detensi situ-situ mempunyai peran dalam pengurangan puncak banjir.
Apabila volume detensi akan dioptimalkan atau ditingkatkan untuk mengurangi banjir yang akan terjadi di badan air atau sungai di hilir situ, dapat dilakukan dengan mengganti fungsi retensi menjadi fungsi detensi. Dengan demikian volume air yang dapat ditahan sebagai fungsi detensi meningkat
Berikut ini adalah tabel dimensi bangunan outlet situ yang diperoleh dari studi WJEMP Pusat 3-10 tahun 2005. Sedang untuk menganalisa besar volume detensi dan retensi situ, digunakan asumsi untuk memperkirakan ketinggian muka air diatas mercu pelimpah dan untuk memperkirakan kedalaman retensi situ. Perkiraan volume detensi dan retensi situ diperoleh dengan mengalikan tinggi detensi dan retensi dengan luas genangan.



Gambar 2‑34. Pelimpah dan pintu outlet situ untuk fungsi detensi (Gbr. a), Pelimpah dan pintu outlet situ Parigi, pelimpah cukup lebar (10 m) (Gbr.b)
Untuk menggantikan fungsi retensi menjadi detensi pada situ, diperlukan operasional pengendalian banjir. Untuk dapat melaksanakan operasional tersebut, diperlukan antara lain :
  1. rehabilitasi pada bangunan pengeluaran
  2. penambahan pintu pengatur yang ditempatkan di atas tampungan sedimen atau pada elevasi di atas dasar situ
  3. penggunaan pompa untuk mengosongkan situ setelah terjadi banjir. Penggunaan pompa dapat dilakukan juga apabila fasilitas pengaturan banjir tidak tersedia namun operasional dengan pompa memerlukan biaya O & P yang cukup tinggi.

Gambar 2 35. Sketsa Penambahan Pintu Outlet di Dasar Situ atau Pompa Untuk Mengosongkan Tampungan, dan Pipa Perforated untuk Recharge
Pengosongan tampungan pada awal musim hujan maupun selama musim hujan sebagai bagian dari pengendali banjir, merupakan bagian untuk mengaktifkan fungsi detensi situ. Air yang tertampung pada awal musim hujan harus dikeluarkan secara berkala untuk menyediakan tampungan detensi untuk banjir berikutnya yang masih terjadi pada musim hujan. Pada akhir musim hujan, tampungan situ dapat disediakan untuk berbagai keperluan penyediaan air di musim kemarau, dan yang akan dikosongkan lagi untuk perioda musim hujan berikutnya.
Untuk merubah fungsi situ retensi menjadi fungsi detensi seperti yang dijelaskan diatas, digambarkan pada sketsa berikut (Gambar 2.34), dengan menambah bangunan outlet di dekat dasar situ atau menggunakan pompa.
Untuk menambah fungsi situ retensi sebagai situ recharge dapat dilakukan dengan menerapkan pemasangan pipa – pipa perforated sampai lapisan yang porous. Tinggi pipa sampai elevasi yang didesain atau sampai elevasi muka air normal, pipa diisi dengan pasir kerikil . Konsep ini sama dengan pembuatan sumur resapan.
7. Pertimbangan Terhadap Keamanan Daerah Sekitar Situ
Situ yang terletak di sebagian wilayah DKI Jakarta umumnya dibangun dengan cara menggali dan mengembangkan daerah cekungan atau daerah depressi sehingga daerah sekitarnya berada diatas muka air situ. Bangunan pengatur atau regulasi pada situ berupa pintu regulator dan atau pelimpah.
Namun pada beberapa situ, selain diperlukan bangunan pengatur tersebut, diperlukan pertimbangan terhadap keamanan daerah sekitarnya terhadap kemungkinan runtuhnya tanggul maupun tidak berfungsinya pelimpah dan pintu outlet tersebut. Pada beberapa situ, antara lain situ Pedongkelan diperlukan perhatian karena potensi bahaya terhadap daerah sekitarnya yang umumnya sudah berkembang menjadi pemukiman yang padat.
Pertimbangan terhadap keamanan situ antara lain :
  • tinggi jagaan diatas muka air banjir
  • tinggi jagaan disaluran pelimpah
  • stabilitas tanggul terhadap longsoran
  • stabilitas tanggul terhadap rembesan
  • pintu –pintu yang tidak berfungsi
Untuk menentukan skala prioritas terhadap kemungkinan perbaikan atau rehabilitasi situ-situ disarankan untuk memantau keamanannya dengan melakukan inspeksi visual dan apabila diperlukan dapat dilakukan analisa pada tempat yang dicurigai mengalami penyimpangan. Dengan mengadakan inspeksi visual rutin maka dapat segera dilakukan tindakan apabila dijumpai kondisi yang menghawatirkan.
Demikian pula pengaturan pintu banjir atau regulator memerlukan petugas yang akan mengoperasikan pintu-pintu tersebut, dengan kata lain diperlukan kegiatan pemeliharaan bangunan maupun kolam tampungannya sendiri. Dengan adanya Institusi yang berwenang untuk mengelola situ-situ diharapkan perlindungan dan pelestarian situ-situ dapat berlangsung.
8. Program Pelestarian, Pengelolaan Dan Pembangunan Situ
a. Program Jangka Pendek
Mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008, Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta,Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, maka situ merupakan salah satu bentuk kawasan lindung. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Salah satu amanat dalam Perpres tentang sasaran penyelenggaraan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur adalah terwujudnya peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora dan fauna dengan ketentuan : a) tingkat peresapan air hujan dan tingkat pengaliran air permukaan menjamin tercegahnya bencana banjir dan ketersediaan air sepanjang tahun bagi kepentingan umum ; b) situ berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sumber air baku, dan sistem irigasi.
Program jangka pendek merupakan program untuk menangani masalah yang mendesak terkait dengan pengelolaan, pelestarian dan perlindungan situ di wilayah DKI Jakarta. Program tersebut dapat dijadwalkan untuk 1 tahun sampai 5 tahun mendatang .
Dengan demikian program jangka pendek disusun sebagai berikut :
1. Inventarisasi Situ
  • melaksanakan survey topografi daerah genangan dan rencana pengembangan
  • melaksanakan survey kedalaman situ, volume genangan dan luas
  • menginventarisasi bangunan pelengkap
  • mengidentifikasi potensi bahaya
  • menginventarisasi kondisi tanggul, bangunan pelengkap ( outlet, intake, pelimpah)
2. Pembuatan Data Base
Berdasarkan hasil inventarisasi terhadap situ dapat disusun data base situ, yang akan meliputi data teknis situ serta gambar-gambar daerah genangan maupun bangunan pelengkap situ.
Data lain yang dianggap penting dapat masuk dalam data base seperti Institusi Pengelola, histori atau catatan perbaikan, rehabilitasi dan kejadian penting lainnya dalam masa layan situ terkait.
Data Base akan meliputi :
  • data teknis
  • Institusi pengelola
  • historis atau catatan perbaikan, rehab, perbaikan dan kejadian penting lainnya
3. Pengelolaan situ termasuk kegiatan pemantauan
Kegiatan pemantauan yang dimaksud yaitu pemantauan terhadap keamanan situ dan bangunan pelengkapnya, yang dimaksud disini antara lain :
  • pelestarian situ
  • pengurangan luas situ
  • kondisi lingkungan
  • perubahan fungsi situ
  • keamanan tanggul dan bangunan pelengkap
  • Potensi keamanan daerah pemukiman di hilir atau disekitar situ.
4. Peninjauan Peraturan dan Kebijakan
Upaya yang diperlukan dalam rangka pelestarian dan pengelolaan situ-situ antara lain :
  • Peninjauan terhadap Perda yang ada terkait dengan pelestarian, pengelolaan dan pembangunan situ,
  • Penyusunan Perda baru, Pedoman dan Petunjuk yang diperlukan terkait pelestarian, pengelolaan dan pembangunan situ,
  • Kemungkinan diperlukannya Sertifikasi situ baik sertifikasi kepemilikan atau pengelola ( Pemerintah, Swasta, Perorangan)
5. Penyelenggaraan dan Penyediaan dana O & P
Penyelenggaraan dan penyediaan dana yang cukup secara rutin untuk keperluan operasi dan pemeliharaan situ, termasuk dalam hal ini adalah untuk biaya petugas pengoperasian situ, penjaga, perlengkapan penerangan atau genset bila diperlukan, pembersihan sedimen, pembersihan semak dan sebagainya.
  • gaji / upah petugas
  • perlengkapan penerangan , genset, suku cadang
• pembersihan areal situ ( semak, sampah, dll )
• penggalian sedimen
Penyediaan dana bagi pekerjaan perbaikan dan rehabilitasi pada situ yang mengalami kerusakan atau dalam kondisi kritis .
6. Penyusunan perencanaan situ-situ baru disesuaikan kondisi pengendalian banjir di sungai-sungai yang masuk kedalam wilayah DKI Jakarta
7. Pengembangan dan Rehabilitasi situ-situ pada 24 lokasi sesuai rencana DKI dan kondisi lingkungan
8. Pembangunan situ-situ baru yang telah diidentifikasi sebanyak 23 lokasi .
b. Program Jangka Menengah dan Jangka Panjang
Program Jangka Menengah dan Panjang untuk pelestarian, pengelolaan dan pembangunan situ, selain melanjutkan program yang telah dilaksanakan dan diperlukan dalam Program Jangka Pendek, akan selaras dan terkait dengan program Master Plan Pengendalian Banjir DKI Jakarta yang telah direncanakan sampai tahun 2030.
  1. Melanjutkan program jangka pendek antara lain melalui pengelolaan (O&P)
  2. Meninjau dan menyusun peraturan dan kebijakan terkait
  3. Pemantauan terhadap penerapan kebijakan di lapangan
  4. Pembangunan dan Rehabilitasi situ yang disesuaikan dengan memperhatikan kondisi lingkungan, sistem drainase wilayah, peningkatan kapasitas sungai, dan pengendalian debit sungai
  5. Sejalan dengan Rencana Aksi Penanganan Masalah Banjir 2007 JABODETABEKJUR, direncanakan pembangunan sekitar 50 situ yang tersebar di beberapa daerah aliran sungai di Jakarta

Gambar 2 36. Peta Masterplan Situ/Waduk
5.3.2. Sumur Resapan
Konsep dasar sumur resapan adalah memberi kesempatan dan jalan pada air hujan yang jatuh di atap atau lahan kedap untuk meresap ke dalam tanah dengan jalan air ditampung pada suatu sistem resapan air. Berbeda dengan cara konvensional dimana air hujan dibuang / dialirkan ke sungai terus ke laut, cara ini mengalirkan air hujan ke dalam sumur-sumur resapan yang di buat di halaman rumah. Sumur resapan ini merupakan sumur kosong dengan maksud kapasitas tampungannya cukup besar sebelum air meresap ke dalam tanah. Dengan adanya tampungan, maka air hujan mempunyai cukup waktu untuk meresap ke dalam tanah, sehingga pengisian tanah menjadi optimal.
Berdasarkan konsep tersebut, maka ukuran atau dimensi sumur yang diperlukan untuk suatu lahan atau kapling sangat tergantung dari beberapa faktor, sebagai berikut:
  1. Luas permukaan penutupan, yaitu lahan yang airnya akan ditampung dalam sumur resapan, meliputi luas atap, lapangan parkir dan perkerasan-perkerasan lain.
  2. Karakteristik hujan, meliputi intensitas hujan, lama hujan, selang waktu hujan. Secara umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi hujan, makin lama berlangsungnya hujan memerlukan volume sumur resapan yang makin besar. Sementara selang waktu hujan yang besar dapat mengurangi volume sumur yang diperlukan.
  3. Koefisien permeabilitas tanah, yaitu kemampuan tanah dalam melewatkan air per satuan waktu. Tanah berpasir mempunyai koefisien permeabilitas lebih tinggi dibandingkan tanah berlempung.
  4. Tinggi muka air tanah. Pada kondisi muka air tanah yang dalam, sumur resapan perlu dibuat secara besar-besaran karena tanah benar-benar memerlukan pengisian air melalui sumur-sumur resapan. Sebaliknya pada lahan yang muka air tanahnya dangkal, pembuatan sumur resapan kurang efektif, terutama pada daerah pasang surut atau daerah rawa dimana air tanahnya sangat dangkal.
Sejauh ini telah dikembangkan beberapa metode untuk mendimensi sumur resapan, beberapa diantaranya adalah yang dikembangkan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman, Departemen Pekerjaan (1990) telah menyusun standar tata cara perencanaan teknis sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan yang dituangkan dalam SK SNI T-06-1990 F.
Perencanaan sumur resapan berdasarkan standar PU mengikuti tahapan sebagaimana dilukiskan dalam bagan alir gambar di bawah ini.

Gambar 2‑37. Bagan Alir Pembuatan Sumur Resapan Air Hujan
Konstruksi Sumur Resapan
Pada dasarnya sumur resapan dapat dibuat dari berbagai macam bahan yang tersedia di lokasi. Yang perlu diperhatikan bahwa untuk keamanan, sumur resapan perlu dilengkapi dengan dinding. Bahan-bahan yang diperlukan untuk sumur resapan meliputi :
  1. Saluran pemasukan/pengeluaran dapat menggunakan pipa besi, pipa pralon, buis beton, pipa tanah liat, atau dari pasangan batu.
  2. Dinding sumur dapat menggunakan anyaman bambu, drum bekas, tangki fiberglass, pasangan batu bata, atau buis beton.
  3. Dasar sumur dan sela-sela antara galian tanah dan dinding tempat air meresap dapat diisi dengan ijuk atau kerikil.

Gambar 2‑38. Salah Satu Contoh Konstruksi Sumur Resapan
Persyaratan Sumur Resapan
Sekalipun sumur resapan banyak mendatangkan manfaat, namun pembuatannya perlu memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Persyaratan umum:
  1. Sumur resapan air hujan dibuat pada lahan yang lulus air dan tahan longsor
  2. Sumur resapan air hujan harus bebas kontaminasi/pencemaran limbah
  3. Air yang masuk sumur resapan adalah air hujan
  4. Untuk daerah sanitasi lingkungan buruk, sumur resapan air hujan hanya menampung dari atap dan disalurkan melalui talang
  5. Mempertimbangkan aspek hidrogeologi, geologi dan hidrologi.
Sumur Resapan di Jakarta
Wilayah DKI Jakarta secara topografi terdiri dari dataran rendah di kawasan pantai yang berada bagian utara dengan ketinggian mulai dari nol meter dari muka air laut (m dpl). Semakin ke arah selatan elevasi tanah makin tinggi dan mencapai krtinggian 100 m dpl di sekitar Kota Depok. Berdasarkan kondisi topografi tersebut, maka pembuatan sumur resapan tidak dapat dilakukan secara efektif di semua wilayah DKI Jakarta. Dengan asumsi bahwa tinggi muka air tanah relatif datar, maka sumur resapan hanya dapat diterapkan pada wilayah dengan elevasi di atas 5 m dpl.
Jumlah sumur resapan yang diperlukan persatuan luas lahan. Disamping tergantung pada posisi muka air tanah, juga ditentukan oleh permeabilitas tanah. Jenis tanah di wilayah DKI Jakarta dengan ketinggian lebih dari 5 m dpl, terutama terdiri dari latosol, dengan permeabilitas rendah sampai sedang. Dengan demikian jumlah sumur resapan yang diperlukan untuk berbagai jenis kapling dapat menggunakan Tabel 2.14 di bawah.
Untuk mengurangi jumlah sumur pada kapling dengan ukuran besar, maka ukuran diameter sumur dapat ditingkatkan, atau jika posisi muka air tanah cukup dalam (> 3 m), sumur resapan dapat dibuat lebih dalam. Dengan diameter sumur 140 cm, hanya diperlukan jumlah sumur setengahnya dari Tabel 2.19.


Gambar 2 39. Topografi DKI Jakarta, memperlihatkan wilayah yang dapat dibuat Sumur Resapan
5.3.3. Banjir Kanal (Floodway)
Banjir Kanal (Floodway) atau istilah yang lebih tepat adalah saluran banjir, yang dibuat untuk mengalirkan secara terpisah dari sungai utamanya langsung menuju laut, danau ataupun sungai lainnya.
Pembangunan saluran banjir tersebut dilakukan apabila debit banjir rencana terlalu besar dan tidak dimungkinkan kapasitas alur sungai yang ada. Adapun tujuan pembangunan saluran baru tersebut dapat digunakan berbagai tujuan, namun biasaya mempunyai tujuan utama untuk melindungi suatu daerah yang pemukiman padat penduduk ataupun daerah penting lainnya, dari ancaman bahaya banjir yang sering melanda daerah tersebut. Pertimbangan lain pembangunan saluran baru tersebut adalah agar permasalahan pembangunan
yang timbul dapat ditekan dengan dimungkinkannya merencanakan beberapa alternatif trase yang lebih tepat. Saluran banjir dapat dibuat untuk mengalirkan sebagian atau bahkan seluruh debit banjir rencana.
Pada saluran banjir yang mengalirkan sebagian debit banjir, debit banjir dibagi dengan menggunakan ambang bebas atau menggunakan pintu air pembagi banjir.
Perencanaan saluran ini perlu dilakukan dengan seksama karena untuk saluran banjir yang besar diperkirakan akan dapat merubah resim bagian hilir sungai yang sudah ada dan daerah pantai yang akan menjadi muaranya.
Komponen utama banjir kanal (Floodway), adalah :
  • Saluran banjir
Saluran banjir pada umumnya dibuat dengan penampang majemuk (compound cross-section), untuk mengalirkan debit muka air rendah dan air tinggi (banjir).
  • Tanggul
  • Ambang bebas atau dilengkapi dengan pintu air

Gambar 2‑42. Contoh Pintu Pembagi Debit Banjir
Banjir Kanal Barat (Floodway) di Jakarta yang telah dibangun van Breen pada tahun 1920, dimaksudkan untuk melindungi wilayah kota Batavia yang sedang berkembang pada saat itu. Saluran banjir tersebut dilengkapi dengan pintu air untuk dapat membagi debit, khususnya pada waktu musim kemarau, yang dimaksudkan untuk pengglontoran kota. Pintu air tersebut dikenal dengan pintu air Manggarai, sampai saat ini masih berfungsi dengan baik dengan kondisi seperti foto berikut. Selanjutnya, berdasarkan review tentang M/P Banjir Jakarta, pintu air ini direncanakan akan ditambah dengan 1 pintu untuk memperbesar kapasitas pengalirannya.
Gambar 2‑43. Foto Kondisi Pintu Air Manggarai pada saat ini (Mei 2009)
Telah diuraikan pada bab sebelumnya, seiring dengan perkembangan kota Jakarta, telah disusun Masterplan Pengendalian Banjir dan Drainase DKI Jakarta (Nedeco 1973). Dalam uraiannya, disamping pembangunan Banjir Kanal Barat yang telah dibangun, juga akan dibangun Banjir Kanal Timur. Sejak gagasan pembangunan yang dituangkan dalam Masterplan 1973, Banjir Kanal Timur baru dapat direalisir pembangunannya mulai tahun 2007, dan pada saat ini masih dalam pelaksanaan.
Adapun tujuan utama dari pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) adalah untuk melindungi bagian timur kawasan Kota Jakarta dari banjir akibat dari meluapnya K.Cipinang, K.Sunter, K.Buaran, K.Jatikramat dan K.Cakung. Salah satu tujuan dari pembangunan BKT adalah untuk keperluan transportasi sungai untuk mengurangi tekanan transportasi jalan raya di daerah tersebut. BKT pertama kali diusulkan oleh NEDECO (1973) melalui Study of Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta dan selanjutnya dilanjutkan dengan beberapa studi dan desain rinci antara lain oleh Nikken (1989, 1993), NEDECO (1996), JICA (1997) dan baru-baru ini, The Design Review of East Banjir Canal (2003) oleh PT Virama Karya, TGP dan Wiratman Associates.
BKT dirancang untuk menampung banjir dari kali Cipinang, mengalir ke arah timur sepanjang Jl.Kol Sugiono dan Jl. Jend. R.S. Soekanto terus ke timur kemudian membelok ke arah utara ke Laut Jawa, memotong kali Sunter, K.Buaran, K.Jatikramat, K.Cakung dan K.Blencong. Total panjang BKT adalah 23,6 km dan direncanakan akan mampu melindungi kawasan seluas 16.500 ha dari banjir dan genangan. Trase memanjang dari saluran dibagi menjadi beberapa bagian dengan kemiringan, lebar dasar dan debit rencana yang berbeda.
Pembangunan BKT ini masih harus diiukuti dengan penataan sistem drainase daerah disebelah hilir BKT, karena banyak bagian dari daerah tersebut merupakan daerah rendah ataupun cekungan, serta sistem drainase yang ada pada saat ini masih memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan.
Normalisasi Sungai (Tanggul, Pengerukan dan Sudetan)
Permasalahan tata air perkotaan yang juga dihadapi oleh kota-kota di Indonesia adalah semakin banyak dan semakin seringnya terjadi banjir dan genangan. Ada beberapa penyebab terjadinya banjir dan genangan.
  1. Semakin luasnya penutupan lahan oleh prasarana jalan, bangunan, dan tempat parkir berdampak pada meningkatnya limpasan langsung, dan berkurangnya resapan air ke dalam tanah.
  2. Pembangunan rumah di sepanjang sungai telah mempersempit palung sungai dan mengurangi kapasitas pengaliran air banjir.
  3. Penurunan permukaan tanah telah mengubah sistem drainase yang mengakibatkan terjadinya genangan di berbagai tempat.
  4. Meningkatnya kegiatan konstruksi dan pengelupasan lahan di daerah perkotaan telah meningkatkan erosi, yang pada gilirannya mengakibatkan sedimentasi di sungai.
  5. Kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan, yang pada akhirnya terkumpul di sungai, semakin mempercepat pendangkalan sungai yang berarti pengurangan kapasitas aliran.
Terjadinya banjir dan genangan, ternyata tidak saja mengganggu kenyamanan, tetapi menimbulkan kerugian ekonomi yang besar di daerah perkotaan. Banjir yang merendam kota mengakibatkan kerusakan bangunan dan harta benda. Situasi itu juga memaksa orang tidak bisa bekerja dengan normal, dan bahkan harus mengungsi. Genangan yang terjadi pada beberapa ruas jalan di berbagai sudut kota, telah mengakibatkan terjadinya kemacetan lalu lintas dimana-mana. Hilangnya waktu produktif di jalan, kecapaian, dan volume bahan bakar yang terbakar percuma ketika terjadi kemacetan di jalan merupakan bentuk kerugian ekonomi akibat banjir dan genangan pada sebuah kota.
Normalisasi, pengaturan sungai dan perbaikan alur adalah metode umum untuk menurunkan tinggi muka air banjir pada suatu lokasi sungai dengan cara mereduksi panjang sungai, kekasaran alur atau elevasi dasar sungai.
Normalisasi, pengaturan sungai dan perbaikan alur meliputi cut off, pengerukan, pengendalian alinemen sungai.
Debit rencana untuk penanganan ini berkisar dari debit dominan (bankfull) untuk cut off sampai debit rencana untuk pengendalian erosi pada jenis tertentu dari pengaturan sungai dan perbaikan alur (contoh kala ulang 25 tahun untuk tebing sungai dan kala ulang 50 tahun untuk talud tanggul). Perencanaan fasilitas-fasilitas ini harus memasukkan pertimbangan-pertimbangan teknik sungai sebagai berikut.
  • Menentukan kendala geologi yang terdapat di sepanjang sungai dan trase cut off yang diusulkan.
  • Identifikasi bahan-bahan alami di dalam saluran yang akan digali.
  • Mencari demensi yang stabil untuk saluran baru berdasarkan pada hubungan bentukan sungai.
  • Memperkirakan respon jangka pendek dan jangka panjang dari alur sungai akibat penanganan perbaikan alur.
  • Menentukan kebutuhan usaha pengendalian untuk mereduksi dampak dari perubahan bentuk alur sungai.
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk perencanaan dalam analisis adalah sebagai berikut :
  • Erosi di hulu yang disebabkan oleh penurunan muka air sungai
  • Perubahan bentuk sungai
  • Sedimentasi di daerah hilir
  • Erosi tebing
  • Stabilitas tebing
  • Pemeliharaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar