Cari di Website Ini

Selasa, 24 Juli 2012

Manajemen Air dan Banjir di DKI Jakarta


I. Kondisi Wilayah DKI Rawan Banjir

Wilayah DKI Jakarta dilalui oleh banyak sungai dan saluran air yang terhubung ke sunga-sungai tersebut. Terdapat sebanyak 13 sungai utama yang berasal dari kawasan diluar Jakarta, yaitu saluran Mookervart (Saluran sudetan dari Kali Cisadane ke Kali Angke sebelum adanya Cengkareng Drain), Angke, Pesanggrahan, Gorgol, Krukut, Ciliwung, Cipinang, Sunter Buaran, Jati Kramat dan Cakung. Sisanya adalah sungai dan saluran kecil yang memiliki fungsi mengumpulkan curah hujan.

Wilayah DKI yang datar dan terletak di muara sungai sangat rawan terhadap banjir. Elevasinya yang rendah dan datar menyebabkan sistem drainase secara gravitasi tidak mampu untuk membuang kelebihan air hujan baik yang berasal dari lokal maupun dari luar wilayah DKI.

Elevasi lahan yang rendah ini juga diperkirakan mengalami penurunan setiap tahunnya akibat pengambilan air tanah yang berlebihan. Jika pasang air laut juga mengalami kenaikan akibat pemanasan global, maka daerah rendah yang rawan terhadap banjir akan meluas, bahkan mungkin sebagian besar akan terkena dampaknya.

Kepadatan hunian serta minimnya areal terbuka menyebabkan sulitnya merealisasikan berbagai usulan penanggulangan banjir yang mengakibatkan usaha untuk menighidari DKI dari banjir berjalan lamban. Proyek Banir Kanal Timur sebagai contohnya, baru terealisir setelah masyarakat merasakan dampak langsung kerugian sehingga didukung oleh berbagai pihak, walaupun pada awalnya sangat sulit untuk membebaskan lahan yang diperlukan.

Mengubah pola guna lahan secara drastis di DKI untuk mengatasi banjir memang tidak mungkin, hal yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan semua potensi yang ada baik di hulu, di DKI sendiri atau laut untuk menghindarkan DKI dari banjir, walaupun hal ini perlu waktu, biaya dan koordinasi lintas daerah/provinsi.

Dari gambar diatas daerah yang rendah sudah mencapai 40 % dari luas DKI, dimana di daerah ini akan sulit untuk menerapkan sistem drainase secara gravitasi, sehingga diperlukan sistem polder (digunakan pompa, waduk, tanggul) untuk mengatasinya.

II. Penyebab dan Kejadian Banjir di DKI

Ada 2 faktor penyebab terjadinya banjir di DKI : faktor alam dan manusia. Faktor alam meliputi : topografi yang relatif datar, 40 % wilayah berada di dataran banjir (Kali Angke, Pesanggrahan, Ciliwung, Cipinang, Sunter, dll), intensitas hujan relatif tinggi (2.000 – 4.000 mm per tahun), kapasitas sungai tidak mencukupi, pasang air laut terjadi menghalangi aliran air ke laut. Sedangkan faktor manusia meliputi : alih fungsi lahan badan air (sungai dan situ kapasitasnya berkurang), pemanfaatan bantaran sungai dan dataran banjir untuk pemukiman, penurunan kapasitas sungai akibat kurang pemeliharaan dan sampah, peningkatan transpor sedimen akibat erosi, peningkatan banjir akibat peningkatan aliran permukaan (akibat penggundulan hutan di hulu), penurunan muka air tanah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan.

Banjir sebelum Tahun 1996

Beberapa banjir besar terjadi di Jakarta Timur pada tahun 1988 1989, dan setiap tahun sampai tahun 1994. Banjir yang terjadi di Sungai Cipinang dan Sungai Sunter mengakibatkan banjir di Jalan Palad, Pulo Gadung, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kampung Kayu Putih, Kompleks Perhubungan Jati Rawamangun, Cipinang Jaya termasuk Jalan Panjaitan, Penas, Kompleks TNI AL, Kelapa Gading, Plumpang, Cipinang Indah, Kampung Sawah, Kampung Jati, Perumahaan Sekneg RI, Jalan Bekasi Timur dan Jatinegara Pulo. Luas kawasan yang terbanjiri sekitar 800 Ha, dengan kedalaman genangan antara 40 sampai 100 cm.

Banjir 1996

Pada tanggal 6 dan 7 Januari 1996, banjir besar terjadi karena curah hujan yang lama di hulu DAS Ciliwung. Hujan lebat mengakibatkan banjir besar di Kali Ciliwung, mengalir ke hilir dan meluap melewati tebing-tebing sungai. Lebih dari 3.000 ha daerah pemukiman sepanjang alur K. Ciliwung, BKB dan anak Kali Ciliwung tergenang. Sepertiga dari daerah genangan diperkirakan berada di Jakarta Utara-Timur.

Pada saat itu, debit Pintu Air Manggarai tercatat sebesar 500-550 m3/det yang dua kali lebih besar daripada debit rencana yang digunakan oleh studi NEDCO tahun 1973 (Banjir Kanal Barat (BKB) yang direncanakan mampu menampung debit air sebesar 290 m3/det untuk periode 100 tahun). Hal ini menyebabkan BKB meluap sampai menimbulkan banjir di kota Jakarta, sehingga ada faktor lain yang menimbulkan meningkatnya wilayah tangkapan air (catchment area). Selanjutnya debit banjir yang sangat besar menjadi indikasi adanya perubahan yang terjadi pada sistem hidrologi di K. Ciliwung karena perubahan pemanfaatan lahan di DAS Ciliwung.

Pada tanggal 10 Februari 1996, curah hujan sebesar 250 mm dalam waktu 5 jam tercatat pada beberapa tempat di Jakarta. Hujan 1 hari penuh ini ekivalen dengan hujan ekstrim dengan periode ulang 100 tahunan. Sebagai akibat dari hujan ini, lebih dari 5.000 ha daerah pemukiman di DKI Jakarta telah tergenang 1-2 m, sehingga banyak pelayanan publik berhenti selama hampir lima hari kerja. Perlu dicatat bahwa hujan ekstrim 1 hari dengan curah hujan lebih dari 250 mm telah berkali-kali dialami di daerah Jakarta, sehingga hujan pada tanggal 10 Februari 1996 tersebut bukanlah sesuatu yang mengejutkan.

Banjir 2002

Banjir pada Januari 2002 terjadi pada bulan basah Januari – Februari seperti yang terjadi pada banjir 1996. Perbedaan mendasar dari kedua banjir ini adalah bahwa pada banjir Januari 2003 puncak banjir yang diakibatkan oleh banjir ’kiriman’ dari hulu K. Ciliwung di Bogor dan akibat hujan lebat di Jakarta selama 5 hari berturut-turut. Dalam kejadian banjir ini debit di Pintu Air Manggarai mencapai 400 m3/det (periode ulang 20 tahun), lebih rendah dari banjir tahun 1996. Pada tanggal 30 Januari 2002 dan 10 hari berikutnya hujan lebat terjadi di segitiga Bekasi, Tanjung Priok dan Halim PK dengan curah hujan maksimum setempat sebesar 250 mm dengan periode ulang 25 tahunan. Genangan banjir mencapai puncaknya pada 4 Februari 2002 yang meliputi wilayah seluas 10.000 ha, dua kali lebih besar dari daerah genangan pada banjir 1996. Kedalaman genangan pada beberapa tempat yang paling parah di Jakarta mencapai 4 meter. NEDECO (2002) menyimpulkan bahwa puncak banjir K. Ciliwung pada tanggal 4 Februari 2002 disebabkan oleh hujan lebat di bagian tengah DAS (sepanjang alur Depok-Manggarai) dan menyebabkan banjir dengan periode ulang 20 tahunan. Kejadian banjir 2002 terjadi karena hujan lebat dengan periode ulang 5 tahunan dan banjir dengan periode ulang 20 tahunan sehigga rata-rata terjadi sekali 100 tahun.

Pelajaran yang dapat diambil dari dua kejadian banjir ini adalah bahwa kondisi kurang baik di daerah DAS Sunter-Cipinang adalah penyebab utama dari banjir di wilayah bagian timur Jakarta. Upaya pencegahan banjir di bagian timur Jakarta harus diarahkan pada penyelesaian masalah yang ditimbulkan oleh buruknya sistem sungai Sunter-Cipinang. Ini menunjukkan bahwa pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) merupakan salah satu penyelesaian yang komprehensif untuk mengatasi masalah banjir di wilayah bagian timur-pusat Jakarta. Sedangkan buruknya sistem di DAS Ciliwung-Cisadane dan Pintu air Manggarai dapat diselesaikan melalui pembangunan Banjir Kanal Barat (BKB) untuk mencegah banjir besar di wilayah Barat dan Selatan Jakarta.

Banjir 2007

Pada tahun 2007, banjir besar kembali melanda Jakarta. Lebih dari 340,000 orang terpaksa mengungsi dan kurang lebih 80 orang meninggal dunia. 46,000 Ha wilayah Jakarta tergenang dan dibeberapa daerah genangan mencapai ketinggian lebih dari 3 m. Secara umum penyebab banjir pada tahun 2007 ini hampir sama dengan banjir tahun 2002, yaitu tingginya curah hujan di hulu dan daerah resapan air disekitar Jakarta.

Perkiraan Banjir 2025

Perkiraan Jakarta Flood Study Team pada tahun 2007, memperkirakan bahwa adanya kombinasi antara :
- Siklus pasang tertinggi air laut yang berulang setiap 18,6 tahun
- Penurunan muka air tanah yang menyebabkan konsolidasi tanah (amblesan tanah)
- Dampak pemanasan global akan mengakibatkan potensi pasang berikut badainya
akan menyebabkan muka air akan berada 1 meter di atas tanggul eksisting tahun 2025

III. Prinsip Pengendalian Banjir DKI

Sebagai daerah rendah dan datar yang terletak di muara sungai dan dilewati oleh banyak sungai mengakibatkan DKI menerima banyak kiriman air pada saat hujan, hal ini diperparah kondisi DAS di hulu sungai yang kian hari kian rusak. Oleh sebab itu, untuk mengendalikan banjir, hal pertama yang harus dialkukan adalah mengendalikan sungai-sungai yang masuk melewati wilayah DKI. Prinsip pengendalian aliran sungai yang diterapkan di DKI adalah sebagai berikut :

a) Menahan air sebesar mungkin di hulu dengan membangun waduk retensi dan konservasi lahan
b) Meresapkan air hujan sebanyak mungkin kedalam tanah dengan sumur-sumur resapan dan menyediakan daerah terbuka hijau
c) Mengendalikan air di bagian tengah dengan menyimpan sementara di daerah retensi
d) Mengalirkan air secepatnya ke muara atau ke laut dengan menjaga kapasitas sungai dan saluran air
e) Mengamankan penduduk, prasarana vital dan harta benda.

Selanjutnya usaha untuk mengendalikan banjir di DKI prinsip dasar-nya adalah sebagai beikut :

a) Aliran air dari hulu DKI dipotong dan dialirkan ke laut melalui banjir kanal (flood way) melewati pinggiran kota
b) Bagian wilayah yang memiliki ketinggian cukup dialirkan secara gravitasi
c) Daerah rendah dibagian tengah dan utara dibuat sistem polder (daerah di blok dari aliran air dari luar) dan kelebihan air dilirkan menggunakan pompa.
d) Situ-situ yang ada didaerah hulu harus dilestarikan sebagai waduk retensi untuk menampung sementara aliran air

Gambar konsep pengendalian banjir di DKI serta lokasi yang memerlukan sistem Polder dapat dilihat pada gambar berikut.

IV. Strategi Pengendalian Banjir di DKI

Strategi pengendalian banjir di DKI dilakukan secara terintegrasi dengan memperhatikan berbagai aspek, baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Aspek yang paling dominan dalam pengendalian banjir di DKI adalah :
a. Pengendalian Tata Ruang
b. Pengaturan debit banjir
c. Pengaturan daerah rawan banjir
d. Peningkatan peran serta masyarakat

Dari ke empat aspek diatas, pengendalian tata ruang sangat penting untuk dilaksanakan mengingat di DKI saat ini berdasarkan standar-standar yang ada, jumlah penduduknya sudah melebhi daya dukung-nya, sehingga jika ruang yang sangat terbatas ini jika tidak dikendalikan secara ketat akan berakibat fatal serta karena meningkatkan kerawanan terhadap terjadinya berbagai bencana.

V. Review Rencana/Masterplan Pengendalian Banjir

Kajian banjir di DKI telah banyak dilakukan dan sudah beberapa kali direvisi akibat perubahan guna lahan yang demikian cepat. Kajian pertama yang secara garis besar konsepnya masih digunakan adalah Masterplan 1973 yang disusun oleh Nedeco. Secara runut kajian rencana dan masterplan pengendalian banjir akan diuraikan secara ringkas sebagai berikut :

a. Masterplan 1973 (Nedeco)
Masterplan 1973 secara garis besar meliputi :
- Banjir Kanal Barat mengendalikan daerah seluas 7.500 ha
- Banjir Kanal Timur mengendalikan daerah seluas 16.500 ha
- Pengembangan polder pada zona-zona tertentu

Dalam konsep awal Nedeco, areal drainase di Jakarta dibagi 6 zona yang meliputi :

Zona I : 3240 ha meliputi area drainase Tomang Barat, Tomang Timur dan Jelambar
Zona II : berada disebelah timur zona I yang terdiri dari zona IIa seluas 700 ha dan zona IIb seluas 1030 ha membentang dari Menteng hingga Pluit
Zona III : 760 ha terletak disebelah timur zona II yang meliputi area Tamansari dan sekitarnya
Zona IV : berada disebelah timur Zona III seluas 1400 ha
Zona V : berada disebelah selatan-timur zona IV yang terdiri dari zona Va seluas 2830 ha (Pulo Mas) dan zona Vb seluas 4060 ha
Zona VI : terletak disebelah timur zona IV dan sebelah utara zona V yang terdiri dari zona VIa seluas 1600 ha (Sunter West Polder), zona VIb seluas 3300 ha (Sunter East Polder) dan zona VIc seluas 3000 ha (Marunda Polder)

Realisasi dari rencana ini meliputi :

- Banjir Kana Barat (BKB) menampung aliran K. Ciliwung, K. Cideng, K. Krukut dan bermuara di K. Angke
- Pembangunan Cengkareng Drain (1980) untuk menampung aliran K. Pesanggrahan, K. Angke dan Mookervaart
- Pembangunan pompa Cideng (1987) yang berfungsi menampung aliran K. Cideng Bawah
- Sodetan K. Grogol – Sekretaris dialirkan ke K. Angke dibangun tahun 1988

b. Study of East Jakarta Control Project (1989)

Lingkup studi ini meliputi :
- Perhitungan debit Banjir Kanal Timur
- Perhitungan debit Kali Cipinang, Sunter, Cakung, Buaran, Jati Kramat, Cakung Floodway, Marunda Canal dan Pertukangan Canal
- Pengendalian wilayah Sunter Barat dengan 1 sistem polder (Sunter West/Barat)
- Pengendalian wilayah Sunter Timur dengan 3 sistem polder, yaitu : Sunter Timur I, Sunter Timur II dan Sunter Timur III
- Pengendalian wilayah Marunda dengan 1 sistem polder

Realisan hasil studi ini meliputi :

- Normalisasi Kali Sunter dari Jalan I Gusti Ngurah Rai sampai Muara tahun 1993

- Pembangunan Waduk Sunter Timur IA (Kodamar) tahun 1995

- Pembangunan Waduk Suntr Timur III (Rawa Badak) tahun 1996
c. The Study of Urban Drainage and Wastewater Project in The City of Jakarta (1991)

Dalam studi ini sistem drainase Jakarta dibagi atas 6 zona :

Zona 1 :meliputi area seluas 10.017 ha yang dibatasi oleh Sungai Pesanggrahan, Cengkareng Drain dan Laut. Drainase makro yang masuk ke dalam area ini adalah : K. Kamal, K. Maja, Mookervart, K. Kreo, K. Pesanggrahan, Cengkareng Drain dsb.

Zona 2 : meliputi area seluas 11.023 ha yang dibatasi oleh Sungai Pesanggrahan, Cengkareng Drain, K. Krukut dan Banjir Kanal Barat. Drainase makro yang masuk dalam area ini adalah Cengkareng Drain, K Pesamnggrahan, K Angke, K Sekretaris, K Grogol, K Krukut, Banjir Kanal Barat, dsb.

Zona 3 : meliputi area seluas 8.356 ha yang dibatasi oleh K Krukut, K Ciliwung, dan Banjir Kanal Barat . Drainase makro yang masuk dalam area ini adalah : K Krukut, K Mampang, K Cideng, K Baru Barat, K Bata, K Ciliwung, dsb.

Zona 4 : meliputi area seluas 5.125 ha yang dibatasi oleh Banjir Kanal Barat, Lower Ciliwung, dan Teluk Jakarta. Drainase makro yang masuk dalam area ini adalah : Banjir Kanal Barat, K Cideng, Lower Ciliwung, K Besar, K Karang dsb.

Zona 5 : meliputi area seluas 11.119 ha yang dibatasi oleh K Ciliwung, K Sunter, dan Rencana Banjir Kanal Timur. Drainase makro yang masuk dalam area ini adalah : K Ciliwung, K Sentiong, K Baru Timur, K Cipinang, K Sunter dsb.

Zona 6 : meliputi area seluas 19.510 h yang dibatasi oleh Lower Ciliwung, Rencana Banjir Kanal Timur, dan laut. Drainase makro yang masuk dalam area ini adalah : Lower Sentiong, Lower Sunter, Lower Buaran, Cakung Drain, Saluran Bekasi Tengah dsb.

Output studi ini menetapkan Zona I menjadi Zona Prioritas yang kemudian dibuat detai desainnya untuk diimplementasikan dari saluran-saluran berikut :

- Saluran drainase Kamal sepanjang 7,20 km
- Saluran drainase Tanjungan sepanjang 2,50 km
- Saluran drainase PIK Junction sepanjang 0,80 km
- Saluran drainase Gede sepanjang 1,20 km
- Saluran drainase Cengkareng sepanjang 4,20 km

Realisasi Pelaksanaan

- Realisasi pelaksanaan studi ini meliputi :
- Pembangunan saluran drainase Kamal sepanjang 7,20 km
- Pembangunan saluran drainase Tanjungan sepanjang 2,50 km
- Pembangunan Pintu Air Tanjungan
- Pembangunan stasiun Pompa Penjaringan Junction 3 unit dengan kapasitas 6 m3/detik

d. The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabodetabek (1997)

Prinsip dari studi ini adalah :
- Satuan wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane dibagi atas 8 sub wilayah sungai
- Sistem drainase Jakarta tetap seperti prinsip Master Plan 1973 dengan dimensi sungai disesuaikan dengan hasil perhitungan Masterplan 1997
- Sebagian debit Kali Ciliwung dialirkan ke Kali Cisadane melalui terowongan

Masterplan 1997 direvisi karena pembangunan terowongan penghubung Ciliwung – Cisadane tidak dapat dilaksanakan mengingat adanya penolakan masyarakat, sehingga dibuat rencana pembangunan Waduk Ciawi yang berlokasi di hulu bendung katulampa.

VI. Sarana dan Prasarana Pengendali Banjir

Sarana dan prasarana pengendali banjir di DKI secara umum adalah sebagai berikut :
a) Saluran Makro (A + B + C) : 429,17 km
b) Saluran Penghubung dan Mikro : 13.595 km
c) Pompa Air : 21 lokasi dengan total luasan 198,26 ha
d) Pintu air pengendali banjir : 30 lokasi
e) Situ dan waduk retensi : 23 lokasi dengan total luasan 155,40 ha
f) POSKO Piket Banjir : 51 lokasi

a. Sungai/Drainase Makro (A + B + C)

Drainase Makro 13 sungai melintas di 2 provinsi (A) : (ADA TABEL)
No. Lokasi Panjang (km) Lebar Rata2 (m)

1. K. Mookervart 7,30 50

2. K. Angke-CD 12,81 42

3. K. Pesanggrahan 27,30 13

4. K. Grogol 23,60 7

5. K. Krukut 28,75 6

6. K. Ciliwung 46,20 25

7. K. Baru Timur 30,20 13

8. K. Cipinang 27,35 17

9. K. Sunter 37,25 29

10. K. Buaran 7,90 20

11. K. Jati Kramat 3,80 5

12. K. Cakung 20,70 20

13. K. Blencong 6,00 27

TOTAL 279,160

Gambar x.x. Drainase Makro 13 Sungai melalui 2 Provinsi

Banjir Kanal (B)

No. Nama Kanal Panjang (km) Lebar Rata2 (m)

1. Banjir Kanal Barat 16,90 60

2. Cengkareng Drain 7,90 50

3. Cakung Drain 11,20 60

4. Banjir Kanal Timur 23,70 100

TOTAL 59,70

Drainase Makro 18 Sungai di Wilayah Provinsi DKI (C)



No. Nama Sungai/Kali Panjang (km) Lebar Rata2 (m)

1. Kali Sekretaris 12,60 7

2. Kali Cideng 17,90 16

3. Kali Ancol 8,30 29

4. Kali Malang (Tarum Barat) 7,30 15

5. Kali Muara Karang 6,20 26

6. Sodetan Grogol 1,50 19

7. Kali Sunter (Item) 3,00 15

8. Anak Kali Ciliwung (Gunung Sahari) 5,31 4

9. Anak kali Ciliwung (Kota) 5,20 4

10. Kali Tirem 2,60 14

11. Kali Lagoa (Koja) 3,20 40

12. Kali Bang Leo (Merdeka) 3,00 8

13. Kali Besar 1,70 15

14. Kali Pertukangan 6,00 8

15. Kali Kamal 1,70 15

16. Kali Tanjungan 1,30 10

17. Kali Muara Angke (Pelabuhan Ikan) 1,20 28

18. Kali Gedong (Pluit) 2,40 20

TOTAL 90,310

b. Saluran Penghubung, Saluran Mikro dan Prasarana Lainnya

No. Nama Saluran Penghubung/Mikro Panjang (km) Keterangan

1. Saluran Penghubung dan mikro di 5 wilayah 13.595,118

2. Irigasi 272,112

3. Pompa 268 unit, 302,55 m3/det

4. Pintu Air 34 Lokasi

c. Waduk dan Situ

No Jenis Lokasi Luas Keterangan

(Ha)

1 Situ dan waduk Retensi 1 Situ Lembang 1.0

2 Situ Taman Ria Senayan 6.0

3 Situ Rawa Kendal 27.5

4 Rawa Rorotan 50.0

5 Situ Ragunan 4.5

6 Waduk MBAU Pancoran 2.0

7 Waduk Kalibata 1.7

8 Rawa Ulujami 8.0

9 Situ babakan 17.3

10 Situ Mangga Bolong 2.0

11 Situ UI 7.0

12 Situ Arman/Pedongkelan 12.4

13 Situ Rawa Penggilingan

14 Situ Amalia

15 Situ Buaran Indah

16 Situ Rawa Badung 5.0

17 Situ Pedongkelan

18 Situ Pulo Buaran

19 Situ Bea Cukai

20 Rawa Wadas

21 Situ Kepala Dua Wetan 6.0

22 Situ Rawa Dongkal 8.2

23 Situ Tipar 3.0

24 Situ baru 11.0

25 Situ Pacuan Kuda Pulomas 3.1

Sub Total 175.7


2 Waduk dan Tampungan (Long Storage) 1 Waduk Melati 3.5

2 Waduk Setiabudi Barat dan Timur 348.0

3 Waduk Pulit 80.0

4 Waduk Pulomas (Waduk Ria-rio) 4.6

5 Waduk Sunter (Papango) 31.0

6 Waduk Sunter Timur III (Rawa badak)

7 Tampungan memanjang Pompa Don Bosco 0.2

8 Tampungan Memanjang Pompa Kali Item

9 Waduk Sunter Selatan 25.9

10 Waduk Sunter Timur I 15.0

11 Waduk Tomang Barat 6.0

No Jenis Lokasi Luas Keterangan

(Ha)

12 Tampungan Memanjang Pompa Ancol 4.0

13 Waduk Grogol 3.0

14 Waduk Wijaya Kusuma 1.2

15 Rawa Kendal (Sarang Bango dan Waduk Marunda)

Sub Total 522.4

TOTAL


VI. Zonasi Daerah Drainase

Pembagian zona drainase dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja sistem drainase yang diterapkan. Pembagian zona ini lebih disebabkan karena tipologi lahan (elevasinya, kondisi sungai alam yang mengalir, lokasinya) serta berkaitan dengan kapasitas pengendalian seperti kapasitas pompa dan waduk yang memungkinkan, serta lokasi yang tersedia untuk bangunan pengendali banjir. Keterbatasan lahan yang ada mengakibatkan sulitnya mencari lokasi untuk membangun waduk dan saluran drainase mikro. Secara umum daerah drainase di DKI dibagi atas 8 zona, merupakan pengembangan dari zonasi berdasarkan Masterplan Nedeco 1973.

Tabel xx. Pembagian Zona drainase

No Zona Zona Wilayah Gambaran Umum Luas

(Ha) Uraian

Elevasi

(m) Luas Permukiman (%) tahun 2000

1 Zona 1 Sebelah barat K. Pesanggrahan dan sebelah selatan K. Mookervaart Berada dibagian ujung barat daya DKI Jakarta.Terdapat 3 kali utama melalui zona ini dan tedapat 7 daerah genangan pada zona ini 7.500 10-50

2 Zona 2 Daerah diantara K. Pesanggrahan, K. Grogol dan sebelah barat BKB Berada pada bagian selatan Jakarta. Pada wilayah ini terdapat 2 jalan tol utama yaitu Tol Jakarta – Merak dan jalan tol dalam kota. Sedikitnya terdapat 10 kawasan genangan di zona ini dengan 3 kali/sungai utama 8.500 1-30 90

3 Zona 3 DAS K. Krukut dan K. Cideng, sebelah selatan BKB Berada pada bagian barat daya Jakarta. Terdapat 7 daerah genangan pada daerah ini dengan 4 kali utama. 6.000 10-60 82

4 Zona 4 DAS K. Ciliwung sebelah selatan Pintu Air Manggarai Berada pada bagian selatan Jakarta. Setidaknya terdapat 2 daerah genangan pada wilayah ini dan 4.000 10-60 82

5 Zona 5 Sebelah selatan BKT dan sebelah timur K. Sentiong Berada di sebelah tenggara Jakarta dengan 6 sungai/kali mengalir melaluinya. Terdapat 2 jalan tol utama (Jakarta-Cikampek dan Jagorawi). Sedikitnya 6 daerah genangan ditemukan di kawasan ini. 10.000 10-60 71

6 Zona 6 Sebelah utara BKT dan sebelah timur K. Sentiong Berlokasi dibagian timur Jakarta dengan 7 sungai melalui zona ini. Umumnya sungai-sungainya berasal dari pegungann dengan elevasi 30 s.d 120 m dpl dengan luas DAS antara 13 – 73 km2. Bagian hulu dari alur sungai merupakan alur dangkal dan tidak ada bantaran banjir. Umumnya merupakan yang cepat banjir dengan kapasitas yang rendah krn penyempitan alur. Sdikitnya terdapat 23 kawasan genangan di zona ini 19.000 2-10 87

7 Zona 7 Sebelah utara K. Grogol-K. Surabaya menuju Teluk Jakarta, sebelah barat K. Sentiong Berada dibagian utara Jakarta yang sebagian besar mencakup kawasaan perdagangan di Jakarta Utara. Terdapat 10 kali utama di zona ini dan terdapat 2 jalan tol utama yaitu Tol Pelabuhan dan Tol cawang tanjung priok. Sedikitnya terdapat 10 daerah genangan pada zona ini. 7.000 1-10 93

8 Zona 8 Sebelah utara K. Mookervaart, sebelah barat Cengkareng Drain Berada pada bagian barat daya Jakarta. Tidak ada sungai utama yang melalui kecuali Cengkareng Drain dan mookervart yang membatasinya, namun tedapat 5 saluran buatan. Jalan Tol Sediyatmo dan ujung utara dari JORR melalui kawasan ini. Ada sekitar 5 daerah genangan di zona ini 3.000 1-10

Pembagian zona serta orientasi pembuangan airnya perlu diperhatikan oleh para pengembang yang akan melakukan pengurukan, jangan sampai orientasi pembuangannya ke timur, pengurukannya miring ke barat.

VII. Analisis

Berdasarkan working paper Pengendalian Banjir yang disusun oleh Pemda DKI, penyebab terjadinya banjir adalah sebagai berikut :

- Pembuangan Limbah Padat
Pembuangan limbah padat ke saluran drainase merupakan masalah yang serius dalam sistem drainase perkotaan. Sampah atau limbah padat terbawa oleh arus balik di permukaan atau secara melayang dan sebagian lainnya mengedap di dasar saluran. Dalam tiap kasus, kapasitas saluran drainase akan berkurang.

Limbah padat tersebut terdiri dari plastik, kertas, tekstil dan bahan-bahan organik. Proses pemindahannya dari saluran kalah cepat dengan limbah padat yang datang. Untuk saluran drainase yang lebih besar, dampak dari limbah padat adalah pengurangan kapasitas pembawa dari saluran, sedang untuk saluran drainase mikro dapat seluruhnya tersumbat. Pada kedua kasus, pembuangan sampah dan limbah ke saluran akan menyebabkan terjadinya banjir di kawasan itu.

- Permukiman yang menjorok ke badan sungai/saluran
Meingkatnya urbanisasi di Jakarta dan daerah sekitarnya pada beberapa dekade terakhir diasosiasikan dengan adanya permukiman liar yang pada beberapa lokasi menjorok ke badan saluran atau sungai.
Permukiman yang menjorok ke badan saluran/sungai tersebut menyebabkan terjadinya tumpukan sampah yang tersangkut yang merupakan hambatan yang kuat pada aliran sehingga mengurangi jalan air dan luas saluran (terutama pada daerah yang datar dan kemiringan saluran sangat kecil). Untuk beberapa saluran dampak dari hambatan terhadap aliran ini terkesan sampai kehulu dan bersama-sama dengan pembuangan sampah ke badan air menyebabkan meluapnya saluran sub-makro selama hujan lebat.

- Sistem Sub-makro dan Mikro yang tidak Berfungsi
Beberapa saluran sub-makro di Jakarta tidak efektif membawa air keluar dari kawasan karena terbatasnya kapasitas saluran akibat ukuran saluran yang tidak cukup dan kecilnya kemiringan saluran. Jembatan yang kurang lebar dan ruang bebas yang kurang tinggi menyebabkan masalah menjadi semakin parah. Pembuangan sampah dan limbah padat ke saluran dan permukiman yang menjorok ke badan saluran atau sungai menambah situasi menjadi semakin parah.

- Kapasitas Sistem Makro
Banjir dari daerah tangkapan air di hulu sungai melewati kapastias sistem makro dan menyebabkan terjadinya banjir di beberapa kawasan permukiman. Pengaruh pasang air laut dibagian utara menambah masalah banjir menjadi makin sulit untuk diatasi.

Masalah banjir terkait kapasitas sistem makro ini disebabkan oleh dua hal yaitu:

1. Kapasitas saluran makro yang berkurang, yang disebabkan oleh:
• Sedimentasi yang berlangsung dan mengakibatkan berkurangnya luas penampang aliran sungai
• Permukiman yang menjorok ke badan sungai
• Pembuangan limbah padat kebadan air
• Kapasitas yang terbatas akibat adanya jembatan dan bangunan lainnya

2. Kurangnya pemeliharaan muara sungai yang seharusnya dilakukan secara berkala
- Luapan dari Sistem Makro

Sistem makro dalam beberapa kasus meluap dan menggenangi kawasan seperti yang terjadi pada kawasan yang berada di hulu pertemuan Kali Krukut dengan Kali Mampang serta seperti yang terjadi pada kawasan yang berada dihulu pertemuan kali Sunter dengan Kali Cipinang.
- Faktor Eksternal

Dari uraian permasalahan diatas, terlihat adanya penurunan kapasitas dalam sistem pembuangan air sehingga kapasitasnya tidak lagi mencukupi. Permasalahan penyebab banjir diatas diakibatkan oleh faktor internal, sedangkan faktor eksternal yang menyumbang cukup penting terhadap kejadian banjir antara lain :
- Peningkatan debit dalam sistem makro akibat berkurangnya hutan lindung
- Perubahan iklim global yang mengakibatkan pola curah hujan yang tidak menentu serta meningkatnya intensitas hujan
- Kenaikan air pasang laut
- Penurunan permukaan tanah akibat pengambilan air tanah secara berlebihan.

VIII. Rekomendasi untuk Tata Ruang
Usulan penanggulangan banjir di DKI telah banyak diutarakan oleh berbagai pihak, tetapi secara ringkas dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Memperbaiki sistem drainase mikro
- Manambah kapasitas penampungan sementara di lapangan (waduk lapangan) di lokasi banjir (mikro) akibat menurunnya kemampuan tanah untuk menahan air.
- Mengevaluasi sistem polder yang ada (kapasitas waduk dan pompanya)
- Melakukan pengecekan ulang elevasi lahan dikaitkan dengan MSL
- Mempertahankan lahan-lahan penampung air yang ada termasuk membersihkan bantaran sungai dari hunian
- Menjaga sistem drainase mikro dari sampah dan kerusakan melalui sistem manajemen dan pemeliharaan yang baik

b. Memperbaiki sistem drainase Makro
- Mengelakkan air dari hulu supaya tidak masuk ke DKI dengan merealisasikan banjir kanal timur dan peningkatan kapasitas banjir kanal barat
- Membangun waduk yang cukup besar. Karena keterbatasan lahan usulan yang telah dilontarkan alternatif lokasinya ada di di hulu, di laut atau membuat tampungan dibawah tanah (terowongan) sekaligus sebagai penyimpan air baku untuk suplai air bersih.
- Mengalirkan kelebihan air ke sungai-sungai purba

Walaupun sudah banyak usulan yang masuk, karena keterbatasan anggaran, maka pembangunan Banjir Kanal Timur yang diprioritaskan pembangunannya serta memperbaiki sistem drainase makro serta menjaga kapasitas sungai dalam sistem drainase makro-nya.

Keterkaitan pengendalian banjir dengan rencana penataan ruang adalah sebagai berikut:
- Alokasi ruang untuk merealisasikan dan menjaga sistem drainase makro dan mikro harus ditetapkan
- Relokasi dan penataan kawasan-kawasan padat dan kumuh untuk disesuaikan dengan sistem drainase yang direncanakan
- Menghitung ulang daya dukung kawasan untuk alokasi hunian maupun jasa perkantoran.
- Alokasi ruang untuk memperbaiki sistem polder yang ada.

IX. Penutup

Walaupun sulit untuk merealisasikan alokasi lahan bagi pengendalian banjir dan penataan sistem drainase kota, namun dengan kerugian yang semakin meningkat akibat banjir, maka investasi bagi perbaikan sistem pengendali banjir di DKI harus dilakukan. Memindahkan aktivitas dan pusat keramaian dari tengah kota sedikit demi sedikit perlu dilaksanakan guna mengembalikan lahan-lahan hijau yang telah habis. Selain itu kerjasama antar pemerintah daerah dalam satu sistem manajemen drainase makro menjadi penting untuk dilakukan.

Sumber: Sri Handoko Mukti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar