Cari di Website Ini

Selasa, 07 Januari 2014

Analisis Karakteristik Banjir di DKI Jakarta dan Alternatif Penanggulangannya


Oleh : NANA MULYANA, E061040082; nmulyana@telkom.net
Makalah Pribadi Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor;  Dosen : Prof Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, Ph D (Penangung jawab), Prof Dr. Ir. Zahrial Coto, Dr. Ir. Hardjanto, MS

I. PENDAHULUAN
Bencana banjir langganan yang hampir selalu terjadi terjadi pada akhir Januari dan awal Pebruari  di Jakarta merupakan indikator yang sangat nyata telah terjadinya kerusakan lingkungan.  Kegiatan dan aktivitas manusia yang bersifat mengubah pola tata guna lahan, atau pola  penutupan lahan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat mempengaruhi besar–kecilnya  air yang dihasilkan dari DAS akibat suatu kejadian hujan. Pelanggaran terhadap Tata Ruang,  penegakan hukum yang lemah dan kerusakan hutan, yang terletak dihulu-hulu sungai secara  langsung merupakan indikasi penyebab terjadinya bencana yang terjadi dewasa ini.


Pengelolaan banjir tidak bisa dilepaskan dari konsep pengelolaan DAS secara umum, mengingat  pengelolaan DAS merupakan konsep pengelolaan yang sangat luas, karena menyangkut pola  pengelolaan sumberdaya air dan pola pengelolaan sumberdaya alam dalam batas dan fungsi yang  saling terkait. Pengelolaan DAS dapat dengan jelas mempunyai batas ekologis dan dapat dengan  jelas dibatasi di lapangan sebagai unit ekologis terkecil. Pengelolaan DAS merupakan  perpaduan antara manajemen sistem alam, sistem biologi dan manusia sebagai bagian dari sosial  ekonomi sehingga memerlukan keterpaduan, koordinasi dan partisipasi masyarakat yang sangat luas.
Program penaggulangan banjir di DKI Jakarta sudah banyak dilakukan dengan curahan dana dan  usaha yang besar, tetapi kejadian banjir tetap berulang. Masalah yang dihadapi nampaknya bukan  semata-mata terletak pada hal teknis, tetapi pada masalah belum diatasi dari akar  permasalahhannya sebenarnya, serta masih bersifat parsial, kelembagaan pengelolaan DAS belum  berfungsi dan lemahnya kebijakan publik, khususnya menyangkut lemahnya pertanggunggugatan  (accountability ) pengelolaan DAS dan sumberdaya air yang merupakan sumberdaya  publik. Selain itu, pendekatan teknis yang telah dan akan dilakukan belum menggunakan DAS  sebagai unit analisis, tetapi cenderung bersifat parsial, keproyekan, sektoral atau terkait dengan  kewenangan wilayah administratif semata. Untuk mendiagnosis permasalahan banjir di DKI  Jakarta diperlukan ka jian karakteristik banjir dan DAS yang mengalir di wilayah DKI Jakarta sehingga permasalahan pokok penyebabnya dapat ditanggulangi.
II. KARAKTERISTIK BANJIR DI JAKARTA
2.1 Kontribusi Wilayah Banjir
Kejadian banjir terbesar yang pernah melanda DKI Jakarta adalah kejadian banjir  Januari 2002 dan awal pebruari 2002, dan merupakan banjir terburuk yang pernah  melanda DKI Jakarta. Permasalahan banjir di DKI Jakarta tidak bisa lepas dari  keberadaan 13 sungai yang bermuara di bagian Utara Jakarta. Ketiga belas sungai itu  masing-masing: Kali Mookervaart, Kali Angke, Kali Pasangrahan, Kali Grogol, Kali  Krukut, Kali Baru Barat, S. Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali  Buaran, Kali Jati Keramat dan Kali Cakung. Ke 13 sungai tersebut ada yang bermula  dari daerah Serpong, Parung, Depok, dan Sungai Ciliwung yang merupakan sungai  terpanjang yang melalui DKI Jakarta berhulu didaerah Bogor, Puncak dan berasal dari sekitar Gunung Pangrango.
Secara administratif kebedaraan sungai-sungai tersebut ada di dua propinsi dan 8  wilayah adminstratif setingkat Kabupeten dan Kota masing-masing 3 Kab/kota diluar  DKI Jakarta yaitu Kab Bogor, Kota Bogor, Depok, dan 5 wilayah Kota berada di DKI  masing- masing Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara dan Jakarta Pusat.
Berdasarkan peta administratif dan batas DAS/Sub DAS 58 % (85.650 ha) berada diluar  wilayah DKI Jakarta serta 42 % (62.730 ha) berada di wilayah administratif DKI Jakarta,  sehingga dengan demikian penyebab banjir di DKI Jakarta tidak terlepas dengan  perkembangan pembangunan dan perubahan tataguna lahan dan penutupan lahan yang  ada di luar DKI –Jakarta. Data sebaran luas DAS di masing-masing DAS/Sub DAS secara lengkap disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.
Berdasarkan sebaran DAS yang mengalir ke Jakarta maka penanganan banjir di DKI  Jakarta harus dilakukan secara menyeluruh pada seluruh DAS, dan tidak hanya berasal  dari daerah di luar Jakarta saja, tetapi juga termasuk penataan wilayah di DKI Jakarta sendiri. Penataan dan penaggulangan harus dilakukan secara komprehensif terhadap 13  sungai yang mengalir di DKI Jakarta. Perubahan penutupan lahan akibat permukiman  dan hilangnya beberapa resapan air apabila tidak ditanggulangi secara cepat,   konprehensif dan terpadu hanya akan memperparah bahaya banjir di kemudian hari.
2.2 Konstribusi DAS Ciliwung
DAS Ciliwung dari mulai hulu sampai titik patusan (outlet) di Teluk Jakarta meliputi areal seluas  347 km2. Panjang sungai utamanya adalah 117 km. Menurut toposekuensnya DAS Ciliwung  dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun  pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok, dan Pintu Air  Manggarai Jakarta Selatan. Masing-masing bagian tersebut mempunyai karakteristik iklim, fisik, penggunaan lahan, dan sosial ekonomi masyarakat yang berbeda-beda.

Gambar 1. Penutupan lahan di DAS Ciliwung Hulu
Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah pegunungan  dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di bagian hulu paling sedikit terdapat 7 Sub  DAS, yaitu Sub DAS yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan  Katulampa. Bagian hulu dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras, variasi kemiringan  lereng yang tinggi, dengan kemiringan lereng 2-15% (70,5 km2 ), 15-45% (52,9 km2), dan  sisanya lebih dari 45%. Di bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung pada  komposisi litografi dan kelulusan batuan.
Penguasaan lahan di bagian hulu dapat dikelompokkan menjadi lahan negara, hak milik dan hak  guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan dikelola oleh pemerintah c.q Balai  Taman Nasional Gede-Pangrango (Kawasan Taman Nasional), Balai Konservasi Sumberdaya  Alam (Kawasan Hutan Cagar Alam Telaga Warna) Departemen Kehutanan, dan Perum  Perhutani (Kawasan Lindung dan Produksi). Lahan dalam bentuk setu dan badan sungai dikelola  oleh Pemda dan pemerintah c.q Balai Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pemukiman  dan  Prasarana Wilayah. Lahan milik umumnya digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan, dan  teknis, tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna  usaha digunakan sebagai kebun (PTP VIII Gunung Mas dan PT Ciliwung). Lahan milik  umumnya dimilki oleh orang yang bertempat tinggal di luar lahan milik tersebut.  Secara administratif pemerintahan, bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah  Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota  Madya Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan). Jumlah penduduk tahun  1999 di tiga kecamatan Kabupaten Bogor adalah 225.171 jiwa, dengan tingkat kepadatan per kecamatan antara 1.292-2.746 jiwa/km2.
Bagian tengah mencakup areal seluas 94 km2 merupakan daerah bergelombang dan berbukitbukit  dengan variasi elevasi antara 100 m sampai 300 m dpl. Di bagian Tengah terdapat dua anak  sungai, yaitu: Cikumpay dan Ciluar, yang keduanya bermuara di S. Ciliwung. Bagian tengah S. Ciliwung didominasi daerah dengan kemiringan lereng 2-15%.
Penggunaan lahan di bagian tengah DAS Ciliwung juga masih didominasi penggunaan lahan  untuk pertanian dan perkebunan, yaitu 73% dari luas DAS Ciliwung Tengah (Singgih, 2000,  dalam Pawitan, 2002) Penguasaan lahan di bagian tengah seperti halnya di bagian hulu dapat  dikelompokkan menjadi lahan negara, hak milik dan hak guna usaha. Lahan negara dalam bentuk  kawasan hutan dikelola oleh pemerintah c.q. .PT Perhutani (Kawasan Lindung dan Produksi).  Lahan dalam bentuk setu dan badan sungai dikelola oleh Pemda dan Pemerintah c.q Balai  Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Lahan milik  umumnya digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan, dan teknis, tegalan/ladang, pemukiman  dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha digunakan sebagai kebun.  Secara administratif pemerintahan, bagian tengah DAS Ciliwung termasuk wilayah Kabupaten  Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede dan Cimanggis), Kota Madya Bogor  (Kecamatan Kota Bogor Timur, Kota Bogor Tengah, Kota Bogor Utara, dan Tanah Sereal) dan Kota Administratif Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji).
Bagian hilir sampai stasiun pengamatan Kebon Baru/Manggarai pada elevasi P+8 m mencakup  areal seluas 82 km2 merupakan dataran rendah bertopografi landai dengan elevasi antara 0 m  sampai 100 m dpl. Bagian hilir didominasi daerah dengan kemiringan lereng 0-2 %, dengan arus  sungai yang tenang. Bagian lebih hilir dari Manggarai dicirikan oleh jaringan drainase, yang sudah dilengkapi dengan Kanal Barat sebagai penangkal banjir berupa saluran kolektor.
Bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wila yah administrasi pemerintahan  Kota Madya Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air Manggarai, termasuk  saluran buatan Kanal Barat, Sungai Ciliwung ini melintasi wilayah Kota Jakarta Pusat, Jakarta  Barat dan Jakarta Utara. Penggunaan lahan di bagian hilir didominasi oleh lahan hunian (build up  areas), jaringan jalan, badan sungai dan saluran drainase lainnya, sedikit lahan hijau dalam bentuk taman.
Kejadian banjir yang diartikan sebagai luapan aliran permukaan dari penampungan merupakan  phenomena alam sebagai akibat sebagian hujan langsung berubah menjadi aliran permukaan dan  tidak tertampung oleh tanah dan penampungan permukaan baik dalam bentuk kolam, danau/setu,  badan sungai dan saluran drainase. Faktor yang saling berpengaruh terhadap phenomena alam  banjir ini dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu faktor bentukan alam, yang  dipengaruhi tidak hanya oleh kondisi lokal tetapi juga kondisi global (iklim, pasang surut muka  laut, morfologi) dan faktor bentukan manusia (penggunaan lahan, saluran drainase buatan  Berdasarkan pengamatan data curah hujan yang terekam di beberapa stasiun pada saat terjadi  banjir th 2002 terlihat bahwa curah hujan harian yang turu di Halim PK dan Ciledug merupakan  periode ulang 2 tahunan, di daerah Depok, Citeko, Tajung Priok, dan Darmaga periode ulang 5  tahun, dan di kantor pusat BMG merupakan periode ulang 10 tahun, sehingga dengan demikian  waktu frekwensi terjadinya banjir seperti tahun 2002 kisaran waktunya antara 2 sampai 5 tahun,  sehingga perlu mendapat perhatian yang sangat serius. Akan tetapi apabila dilihat dari curah  hujan kumulatif 2 hari (Duration Dept Frekwensi (DDF) curah hujan yang terjadi tergolong  tinggi dengan kisaran 130-295 mm. Data selengkapnya secara lengkap disajikan pada Tabel 2 dii bawah ini.


Gambar 2. Distribusi Curah Hujan di DAS Ciliwung

Akibat curah hujan yang turun selama awal Januari, menyebabkan kondisi tanah telah jenuh air,  sehingga sangat sedikit air yang dapat diinfiltrasikan Pada tanggal 30 Januari terjadi pengaruh  pasang air laut yang tertinggi di pantai utara Jakarta, sehingga curah hjan yang tinggi di bagian  hulu DAS Ciliwung bersamaan dengan terjadinya pasang tertinggi sehingga banjir pada akhir  Januari 2002 merupakan gabungan antara kondisi pasang surut dan pola curah hujan yang tinggi  yang terjadi di bagian hulu dan hilir DAS Ciliwung serta Jakarta dan sekitarnya. Kondisi Pasang surut secara lengkap disajikan pad Tabel 3 di bawah ini.
Pada tanggal 4 Pebruari 2002 yang merupakan banjir besar dan belum juga surut, telah  menurunkan kapasitas saluran akibat bajir sebelumnya, terutama sampah dan material  telah menutupi sebagian saluran. Banyak sumbatan dan hambatan yang terjadi, tidak ada  pengaruh pasang surut, dan sebagian hujan belum juga berhenti. Beberapa pompa tidak berfungsi sehingga banjir masih berlangsung.
Berdasarkan pola induk yang telah dibuat th 1973 dan kemudian disempurnakan th 1997  setelah ada banjir besar yang melanda th 1996, nampak bahwa telah terjadi kenaikan  debit rencana pada semua badan sungai yang ada di DKI-Jakarta, Master plan  Cengkareng drain telah dinaikan dari 390 m3/det menjadi 620 m3/det, sementara sungai  Ciliwung telah dinaikan dari 370 m3/det menjadi 570 m3/det. Perubahan pola induk ini  untuk mengantisipasi kenaikan debit sungai-sungai yang ada di DKI-Jakarta akibat  perubahan tata guna lahan, khsusnya kurangnya daerah resapan dan terlalu dominannya  permukiman yang hampir menutup seluruh DKI Jakarta akibat pesatnya pertumbuan  permukiman di beberapa kawasan Jabotabek dan sekitarnya. Data debit rencana secara  lengkap disajikan pada Tabel 4 di bawah ini.
Perubahan kenaikan debit ternyata tidak hanya terjadi di daerah hilir akan tetapi terjadi juga di  daerah hulu. Di sungai Ciliwung yang meliputi Ciliwung hulu di daerah Katulampa dan  Ciliwung tengah (Depok) juga terjadi kenaikan debit yang sangat signifikan terutama sejak th  1980 kenaikan debit puncak sudah sangat mengawatirkan. Sebelum th 1980 debit masium di S.i  Ciliwung hulu (Katulampa) masih berada di bawah 200 m3/det, akan tetapi saat ini kondisinya  terus menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan seperti yang terlihat pada Gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Kenaikan debit puncak di S. Ciliwung Hulu
Indikasi kenaikan debit puncak merupakan indikator yang sangat nyata telah terjadi perubahan  tata guna lahan yang serius di DAS Ciliwung bagian hulu. Perubahan tata guna lahan di daerah  hulu ini akan secara nyata pula telah menaikan debit maksimum menjadi 4 kali lebih besar  dibanding era tahun 80- an. Perubahan debit masimum secara otomatis harus segera  ditanggulangi, dengan melakukan penataan DAS dari hulu sampai hilr. Perencanaan  pembanguna dan pola tataruang harus berbasis DAS dan seoptimal mungkin dapat memasukan curah hujan ke dalam tanah.
Dalam era 20 tahun terakhir selain terjadi kenaikan debit maksimum juga telah terjadi penurunan  data debit minimum pada musim kering, sehingga dengan fakta ini indikator kerusakan daerah  hulu Sungai Ciiwung sudah sangat parah hal ini terlihat dari semakin menurunnya debit rendah  (base flow) pada saat musim kering dan semakin naiknya debit puncak pada musim hujan.  Kondisi ke 12 sungai lainnya yang ada di Jakarta di indikasikan kondisinya tata airnya lebih  parah dibanding DAS Ciliwung karena prosentase penutupan lahan yang mampu meresapkan airnya jauh lebih sedikit.

Gambar 4. Penurunan debit rendah di S. Ciliwung di Katulampa
Berdasarkan data kejadian banjir tahun 2002 total curah hujan harian selama 3 hari berturut-turut  dari tgl 29 s/d 31 Januari 2002 untuk Ciliwung hulu tercatat 233 mm, dan dari total curah hujan  tersebut sebesar 62,3 % telah berubah menjadi aliran permukaan dengan total run off 145 mm dengan debit aliran maksimum sebesar 378 m3/det yang berlangsung selama 5 jam berturutturut.
Debit maksimum th 2002 tercatat 525 m3/det yang terjadi pada tanggal 18 Januari 2002  yang diakibatkan oleh hujan sebesar 66 mm selama dua hari dan berubah menjadi aliran  permukaan sebesar 50 mm atau 75 % dari total curah hujan tetapi hanya berlangsung selama 2 jam sehingga tidak menimbulkan banjir yang besar dibanding kejadian akhir Januari.
Kejadian banjr th 1996 yang pernah terjadi sangat berbeda dengan fenomena banjir th 2002 yang  lalu, serta banjir yang terjadi pada Januari 2004 yang baru lalu dimana hujan lokal di DKI Jakarta  yang lebih berperan. Kejadian banjir th 1996 lebih banyak disebabkan karena terjadinya curah  hujan yang tinggi di daerah hulu, yang tidak mampu diresapkan sehingga terjadi banjir yang  hebat di daerah hilir. Berdasarkan hasil kajian hidrograf pada tanggal 6 Januari 1996 debit S.  Ciliwung di Katulampa telah mencapai 740 m3/det, dan berada di kisaran diatas 400 m3/det  selama lebih dari 10 jam sehingga Jakarta mengalami banjr yang hebat, yang diakibatkan oleh  kejadian hujan di hulu yang tercatat di daerah Gadog curah hujan mencapi 250 mm. Dengan  curah hujan 230 mm di th 1998, debit S. Ciliwung di Katulampa sebesar 651 m3/det, dan th 1999  dengan curah hujan 220 mm debitnya mencapai 610 m3/det. Dari data yang tersedia terlihat  bahwa kapasitas saluran sungai di Jakarta khususnya Kali Ciliwung yang didesain hanya 570  m3/det hampir setiap 2 tahun sekali akan terlampaui, sehingga dengan demikian daerah hulu S.  Ciliwung perlu mendapat perhatian yang serius, karena tanpa perbaikan daerah hulu Ciliwung,  pembuatan kanal di Jakarta tidak akan mampu manggulangi banjir yang ada.

Gambar 5 Hidrograf debit Ciliwung di Katulampa th 1996
Berdasarkan penelusuran banjir dengan menggunakan analisis input-output model Muskingum,  antara stasiun Katulampa, Depok dan Manggarai terlihat bahwa lama waktu tempuh aliran  antara Katulampa ke Depok sebesar 7 jam, dari Depok ke manggarai 1 Jam, sementara waktu  konsentrasi aliran di Katulama sebesar 3 Jam sehingga dengan demikian waktu tempuh aliran  berkisar 10 jam sejak terjadinya hujan di bagian hulu DAS Ciliwung. Penurunan debit dari  Katulampa ke Depok sebesar 25-27 % sementara dari Depok ke manggarai terjadi penurunan  debit puncak sebesar 5 %. Adanya perbedaan waktu tempuh ini seharusnya bisa digunakan untuk  sistem peringatan dini, sehingga tingkat kerugian yang terjadi bisa dielimenir, paling tidak  masyarakat dpat diberitahu kapan banjir itu datang sehingga masyarkat tidak kaget dan mampu  menyelamatkan beberapa harta bendanya dari gangguan air yang mendadak mampu merendam  tempat tinggal mereka.

Gambar 6. Perbedaan waktu tempuh aliran di S. Ciliwung
III. KERUGIAN EKONOMI AKIBAT BANJIR
Banjir memang sangat merugikan, berbagai aspek kehidupan. Banjir besar yang melanda Jakarta  th 2002 telah menyentuh seluruh aspek kehupan masyarakat pada berbagai lapisan masyarakat.  Jumlah penduduk yang terkena banjir mencapai 3.709.324 jiwa yang tersebar pada berbagai   wilayah di Jakarta, dengan luas areal genagan mencapai 8.707 ha atau menecapai 1/6 dari  seluruh areal DKI Jakarta. Data sebaran tingkat kerusakan dan jumlah penduduk secara lengkap disajikan pad Tabel 5 di bawah ini.
Banjir yang ada telah menimbulkan kerugian langsung mapun tidak la ngsung. Kerugian  langsung antara lain adalah pada sektor perumahan dan non perumahan. Kerugian pada sektor  perumahan permanen mencapai Rp 3,2 trilyun dan paling parah terjadi daerah Jakarta Barat.  Sedangkan pada bangunan non perumahan yang terbesar mengalami kerugian adalah bangunan  pabrik di darah Jakarta Utara dengan kerugian lebih dari 587 milyar, demikian juga pada  bangunan gudang, toko restaurant dan hotel, perkantoran dan tempat-tempat ibadah. Besar kerugian pada masing-masing sektor secara lengkap disajikan pada Tabel 6 dan 7 di bawah ni.
Kerusakan langsung juga terjadi pada non bangunan antara lain menimbulkan biaya pada masalah  kesehatan, infrastruktur, pertanian dan kerugian lainnya yang kisarannya antara 1,8 sampai 32  milyar, Berdasarkan hasil perhitungan baik yang langsung mapun yang tidak langsung besar  kerugian yang ditimbulkan akibat banjir th 2002 mencapai 9,8 trilyun dimana daerah yang paling  parah terjadi di Jakarta Utara di susul kemudian daerah Jakarta Barat. Kerusakan tidak langsung  antara lain akibat banjir telah menghilangkan aktivitas ekonomi, bahkan kegiatan bursa sempat  dihentikan dan Jakarta menjadi lumpuh total. Akibat banjir tersebut kerugian pada kehilangan  aktivitas ekonomi mencapai 2,5 trilyun, kehilangan sarana transportasi dan telekomunikasi sebesar 78 milyar. Total kerusakan secara lengkap disajikan pada Tabel 8 di bawah ini.
III SOLUSI PENANGANAN BANJIR JAKARTA
3.1 Pendekatan Konsep Pengelolaan DAS
Daerah aliran sungai yang diartikan sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh pembatas topografi  (topography divide) yang menangkap, menampung dan mengalirkan air hujan ke suatu titik  putusan (outlet) telah secara luas diterima sebagai satuan (unit) pengelolaan sumberdaya alam  yang ada di dalam DAS. Istilah “one river, one plan, one integrated management” yang populer  mengindikasikan pentingnya DAS dikelola sebagai suatu kesatuan utuh ekosistem sumberdaya alam.
Secara garis besar sumberdaya alam suatu DAS dapat dikelompokkan menjadi sumberdaya alam,  sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, dan sumberdaya sosial (institusi) yang masing-masing  saling pengaruh-mempengaruhi. Pengelolaan DAS dalam kerangka pengelolaan sumberdaya  alam tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi sumberdaya alam tersebut bukan memaksimalkan salah satu fungsi dengan mengabaikan fungsi lainnya.
Dalam hal kewenangan pengelolaan sumberdaya alam yang ada sekarang, di DAS Ciliwung  melibatkan multi-pemerintahan dan sektor. Terdapat dua pemerintahan propinsi yang terkait,  yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta, terdap[at tujuh pemerintah kabupaten/kota yaitu 3 di Propinsi  Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok) dan 4 di DKI Jakarta (Kota Jakarta  Selatan, Pusat, Barat dan Utara). Selain itu paling tidak terdapat tiga instansi teknis pemerintah  yang terkait erat yaitu Departemen Kehutanan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,  serta Badan Pertanahan Nasional. Instansi lain yang terlibat langsung dalam penanganan sektoral paling tidak terdapat sektor pertanian, perkebunan, dan pertambangan.
Pendekatan struktural yang dominan di bagian hilir selama ini yang terlalu dominan, dalam  penangana banjir mengindikasikan telah mengalami “kegagalan”, sehingga perlu dilakukan  dengan pendekatan non struktural secara bersamaan yang melibatkan seluruh stakeholder dalam  suatu DAS. Mengingat kompleknya permasalahan pengelolaan DAS maka diperlukan  pendekatan yang terpadu melibatkan semua stakeholder dan dilakukan secara konprehensif  sehingga diperlukan metode yang tepat. Medode simulasi dapat digunakan sebagai alat yang  efektif untuk melihat permasalahn dan penaggulangan banjir khususnya dalam meprediksi aliran permukaan (run off) dari suatu hamparan tipe penggunaan lahan.
Apabila dilihat secara seksama rentetan kejadin banjir di Jakarta disebabkan oleh 3 faktor penentu utama yaitu:
  1. akibat perubahankondisi di bagian hulu dan tengah DAS Ciliwung sehingga terjadi debit maksimum yang tinggi melebihi kapasitas daya tampung saluran yang ada,
  2. akibat curah hujan yang turun di DKI-Jakarta sendiri yang tidak mampu diresapkan dan dialikan ke bagian hilir serta
  3. akibat adanya pengaruh pasang surut air laut yang menghambat laju aliran air ke laut.
Penanggulangan ke tiga faktor penyebab banjir tersebut harus ditangani secara konfrehensif  dan dengan metode yang berbeda pula. Untuk mengatasi banjir di DKI Jakarta, sudah banyak  program sudah dilakukan dengan curahan dana dan usaha yang besar, tetapi kejadian banjir tetap  berulang. Pendekatan teknis yang telah dan akan dilakukan belum menggunakan DAS sebagai  unit analisis, tetapi cenderung bersifat parsial, sektoral atau terkait dengan kewenangan wilayah administratif tertentu. Mengingat kharakteristik DKI Jakarta yang sebagian wilayahnya merupakan dataran banjir (flood plain), upaya penanganan banjir di wilayah tersebut jelas merupakan pekerjaan yang membutuhkan curahan biaya dan tenaga besar.
Upaya teknis yang dilakukan untuk mengatur kelebihan air di badan sungai dapat dilakukan  dengan penerapan prinsip pengaturan jumlah air di badan sungai dan mencegah air sampai di  badan sungai. Pendekatan konservasi air dengan cara memasukan sebanyak mungkin jumlah  curah hujan ke dalam tanah merupakan pendekatan yang ramah lingkungan dan murah. Konsep pengaturan air di dalam suatu DAS dapat dilakukan pada 3 tahap proses yaitu:
  1. Kelebihan air hujan di tahan oleh pohon/vegetasi (intersepsi, stem flow dan evapotranspirasi)
  2. Kelebihan air hujan di tahan oleh tanah (melalui proses infiltrasi dan perkolasi dan ditampung di aquifer)
  3. Kelebihan air hujan di tahan oleh badan air (mengendalikan jumlah aliran permukaan/run off, bendungan, cekdam, sumur resapan, dll)
Penerapan teknologi dalam pencegahan dan penurunan laju dan jumlah aliran permukaan dapat dilakukan dengan kegiatan:
1). pengaturan tata guna lahan (land use mangement)
2). pengaturan dan pemanfaatan air (water management).
Salah satu alternatif dalam penggulangan banjir di Jakarta, Kimpraswil melalui projek–Induk  pengembangan Ciliwung- Cisadane telah membuat kajian untuk menggabungkan antara Sungai  Ciliwung dengan Cisadane melalui terowongan di daerah Kota Bogor, yang kajianya dilakukan  oleh JICA (1997) dari arah Bantar Kemang menuju Empang di Sungai Cisadane, dengan  terowongan dengan kapasitas debit 300 m3/det, dengan lebar terowongan 8 m sepanjang 900 m.  Terowongan tersebut akan menaikan debit rencana Sungai Cisadane dari 1.600 m3/det menjadi  1.900 m3/det, sehingga kapasitas Sungai Cisadane harus dinaikan. Dengan debit kejadian pada  banjir 1996 sebesar 740 m3/det maka debit S. Ciliwung di Katulampa setelah disodet menjadi 440  m3/det, dan debit tersebut masih diatas debit kejadian pada banjir th 2002 dimana debit di  Katulampa hanya 425 m3/det, tetapi Jakarta telah mengalami kebanjiran yang sangat hebat, dengan demikian pembuatan terowongan tersebut akhirnya akan sia -sia karena Jakarta tetap
kebanjiran.
Andaikan terowongan sodetan telah ada pada kejadian banjir 2002 terowongan itu tidak akan  tersentuh oleh permukaan air karena didesain untuk debit 490 m3/det, sehingga terowongan ada,  tetapi Jakarta tetap kebajiran. Disamping itu terowongan tersebut tentu hanya akan terkena air  2-3 hari dalam tempo 4-5 th sekali, mengingat debit rata-rata S. Ciliwung di Katulampa dalam  keadaaan normal hanya berkisar 20 m3/det saja. Usulan terowongan akhirnya batal karena  mendapat penolakan oleh masyarakat kota Tanggerang, karena akan semakin memperparah  kondisi tata air di Sungai Cisadane, mereka tidak mau mendapat kiriman air dari Sungai Ciliwung, disamping itu penyodetan tidak akan menyelesaikan masalah karena hanya memindahkan air banjir dari S. Ciliwung ke S. Cisadane.
Berdasarkan data analisis kejadian banjir dengan indikasi terjadinya kenaikan debit maksimum di daerah hulu dan tengah S. Ciliwung yang disertai dengan menurunnya debit pada musim  kering, maka dengan indikasi tingkat kerusakan yang signifikan antara tahun 1973 s/d 2004 maka  dengan demikian rehabilitasi DAS bagian hulu dan penerapan teknologi konservasi tanah  dan air di bagian hulu S. Ciliwung menjadi salah satu kunci penaggulangan banjir di  Jakarta. Dalam jangka panjang pembangunan bangunan pencegah banjir berupa  kanalisasi yang tanpa tidak diimbangi dengan tindakan konservasi tanah dan air di bagian hulu akan merupakan pekerjaan yang tidak efektif.
Dari uraian di atas nampak bahwa pengelolaan lahan di hulu dan tengah DAS Ciliwung melalui  rehabilitasi lahan baik secara vegetatif maupun sipil teknis (soil conservation measures) memberikan kemungkinan besar dalam pengendalian banjir di Jakartar.
3.2 Pendekatan non struktural (non structural measure)
Dalam pendekatan non struktural yang dilakukan adalah melaksanakan pencegahan banjir  melalui pendekatan secara menyeluruh dan melakukan konservasi tanah dan air yang dilakukan  sebelum air sampai di badan sungai. Kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu, serta pemberdayaan masyarakat merupakan kunci utama untuk melakukan pendekatan ini..
Berdasarkan kajian hidrogeologi (Hutasoit, 2002) di DKI Jakarta terdapat daerah-daerah yang  mungkin sebagai tempat penyimpanan air di bawah permukaan, yaitu di dalam pori-pori  tanah/batuan yang mengalasi daerah tersebut. Daerah-daerah yang mungkin untuk tempat resapan  adalah : Parung, Depok, Ciangsana/Cileungsir, Cibubur, Tongkol, Kayu Besar (Cengkareng),  Muara Angke, Kebonwaru, Kuningan, Pekayon, Dukuh Atas, Pulomas, Serpong, Rawa Bokor  (Multi Bintang), dan Bekasi. Adapun teknologi yang dapat digunakan untuk memasukan air ke  dalam akifer adalah memelihara resapan alamiah dan imbuhan buatan. Untuk memelihara  resapan alamiah, daerah tersebut harus dijadikan sebagai daerah terbuka hijau. Sedangkan  teknologi imbuhan buatan antara lain berupa: sumur resapan, paritan, kolam, dan sumur injeksi,  dengan demikian kombinasi konservasi tanah dan air di bagian hulu dan resapan air  dibeberapa tempat di DAS Ciliwung dapat dijadikan alternatif pilihan teknologi dalam menggulangi banjir di Jakarta.
Beberapa pilihan teknologi lain yang dapat diterapkan untuk menanggulangi masalah banjir adalah yang tidak terkait dengan bangunan (non structural measure) seperti :
  1. Peramalan banjir
  2. Pemetaan bahaya banjir
  3. Pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS
  4. Pendidikan masyarakat dan perilaku masyarakat
  5. Kampanye penanggulangan lingkungan
  6. Kompensasi hulu hilir (sharing pendanaan antara hulu dan hilir)
  7. Pembentukan tim penanggulangan bahaya banjir.
Langkah dan strategi yang diperlukan dalam upaya pengendalian banjir diantaranya :
  1. Pembentukan landasan hukum untuk pengelolaan DAS
  2. Melakukan perlakuan dan kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu
  3. Menerapkan sistem monitoring pemanfaatan dan perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan citra satelit.
3.3 Pendekatan Institusi
Pendekatan teknis yang selama ini dijadikan sebagai alternatif pengendalian banjir umumnya  bersifat jangka pendek, disamping itu menyebabkan biaya sosial dan finansial yang tinggi,  sehingga apabila pendekatan teknis/teknologi ini kurang didukung oleh pendekatan-pendekatan  sosial, ekonomi dan kelembagaan yang mantap maka tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.
Selain rekomendasi teknis/teknologi, berbagai rekomendasi kebijakan institusi adalah sebagai berikut :
  1. Perlu penegakan hukum baik dalam pengelolaan di kawasan lindung, di bantaran sungai, maupun di pantai utara Jakarta.
  2. Diperlukan revitalisasi dan reformulasi kebijakan nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam, khususnya dalam lingkup pemanfaatan DAS Ciliwung.
  3. Diperlukan penataan ulang tata ruang wilayah yang terkena banjir, penggunaan lahan  disesuaikan dengan peruntukan. Dalam kaitan ini perlu ditetapkan kebijakan tentang penataan ruang kawasan pedesaan.
  4. Diperlukan kesepakatan tentang penggunaan metode penilaian dan penggunaan  valuasi sebagai instrumen penilaian. Oleh karena itu perlu studi untuk menentukan indikator penetapan kinerja DAS Ciliwung.
  5. Diperlukan pengembangan instrumen ekonomi untuk meningkatkan kualitas lingkungan DAS Ciliwung.
  6. Penerapan AMDAL secara ketat terhadap seluruh kegiatan yang memerlukan AMDAL.
  7. Diperlukan pengelolaan DAS terpadu, untuk mewujudkan kebijakan one river one plan, dan one management dan untuk itu perlu dipastikan bentuk campur  tangan pemerintah pusat (untuk Bopunjur). Dalam kaitan ini diperlukan studi  peran multipihak dalam penetapan cost and benefit sharing antara pemerintahan di wilayah hulu dan hilir.
IV. PENUTUP
Mengingat kharakteristik wilayah DKI Jakarta yang sebagian wilayahnya merupakan dataran  banjir (flood plain ), upaya penanganan banjir di wilayah tersebut jelas merupakan pekerjaan  yang membutuhkan curahan biaya dan tenaga besar. Mengingat kharakteristik hidrologi, prioritas  perlu diberikan pada usaha-usaha yang mampu menjamin keberhasilan jangka panjang tanpa  memindahkan masalah ke wilayah lain, antara lain dengan meningkatkan kapasitas alamiah DAS-DAS  yang melewati DKI Jakarta., oleh sebeb itu rehabilitasi DAS di bagian hulu merupakan  salah satu alternatif penaggulangan bahaya banjir di Jakarta, sebab pembangunan kanalisasi di hilir tanpa tindakan konservasi hanya akan mengulang kegagalan di masa yang lalu.
Keberhasilan peningkatan kapasitas alamiah DAS akan dapat dicapai, jika dan hanya jika,  pengelolaan DAS dilakukan secara terpadu, baik antar pemerintah propinsi/kabupaten maupun  antar sektor, dengan dukungan partisipasi aktif dari berbagai kelompok masyarakat. Sebagai  sebuah konsep, pentingnya koordinasi telah disadari oleh berbagai pihak, sehingga harus  dijadikan sebagai sebuah proses riil. Untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS terpadu  sebagaimana yang diharapkan, berbagai proses partisipatif yang bertujuan untuk membangun kapasitas bersama merupakan syarat keharusan.
DAFTAR PUSTAKA
Bruinjnzeel, L.A. 1990 Hydrology of moist tropical forest and effecs of conversion: A state of the knowledge review. UNESCO International Hydrology program. 224 pp
Gentry, A.H. and J. Lopez-Parodi. 1980 Deforestration and increase flooding of Upper Amazone. Science (210): 1354-1356
Hutasoit 2002. Hidrogeologi Cekungan Jakarta Untuk Pengembangan Resapan Buatan. Departemen Teknik Geologi. ITB Bandung
Kimpraswil . 2003. Basin Water Resources Management Planning Twining Cooperation.  Stakeholder Consultation Workshop BWRMO Cisadane Ciliwung February 4-6, Bogor
—————.,2002. Master Plan Prasarana Perkotaan di Jabotabek. Workshop Penataan Kawasan Bopunjur dan Jabotabek
Mulyana. N., 2000. Pengaruh Hutan Pinus terhadap karakteristik Hidrologi di DAS  Ciwulan. Kajian menggunakan Model POWERSIM-PINUS ver3.1). Thesis Program Pasca Srajana. Isntitut Pertanian Bogor.
NEDECO 2002. Quick Reconnaissance Study Floods Jakarta and Surrounding Area in Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar