JAKARTA- Menteri Luar Negeri (menlu) Jepang Takeaki Matsumoto kemarin bertemu menlu-menlu Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk membahas respon bencana.
Menteri Luar Negeri (menlu) Indonesia Dr Marty Natalegawa menjelaskan bahwa pertemuan antara Menlu Jepang Takeaki Matsumoto dan menlu-menlu Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) merupakan inisiatif Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
“Ada mekanisme yang akan dimiliki Negara-negara anggota Asean yang akan dikoordinasikan dengan sekreariat Asean sehingga itu akan sesuai dengan yang dibutuhkan Jepang,” ungkap Natalegawa.
Jepang dan ASEAN membahas langkah bersama untuk memperbaiki kesiapan dan respon darurat dalam mengatasi bencana alam besar di masa depan. Semua pihak menegaskan komitmen mereka untuk mendorong kerja sama dalam manajemen bencana Asean-Jepang, termasuk dalam melakukan pelatihan dan program pembangunan kapasitas untuk kesiapan menghadapi bencana.
SBY membuka pertemuan antara menlu ASEAN dan Jepang itu kemarin. “Ijinkan saya mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya bagi semua yang terkena dampak gempa bumi dan tsunami di Jepang,” papar SBY, di awal pidatonya kemarin di Sekretariat Asean di Jakarta.
SBY menekankan bahwa Jepang merupakan bangsa yang besar, dengan kesadaran masyarakat yang dan penguasaan teknologi tinggi, serta berbagai system penanggulangan bencana yang baik, sehingga pemulihan bencana akan berlangsung cepat. “Jepang dan Asean rawan dengan bencana, karena itu perlu kerja sama dan kemitraan antara semua pihak,” tuturnya.
Menurut SBY, setiap Negara-negara di Asean mengalami bencana, pemerintah dan rakyat Jepang selalu membantu. Karena itu, SBY mengatakan, inilah saatnya memberi bantuan pada JEpang. Presiden Indonesia menganggap kerja sama dalam penanggulangan bencana harus dilakukan dan diperluas, termasuk dengan berbagai lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pertemuan menlu Jepang dan ASEAN itu berakhir dengan penegasan bahwa kerja sama untuk merespon bencana harus terus ditingkatkan. “Setiap Negara ASEAN sudah merespon untuk membantu Jepang. Semua dari kita menegaskan bahwa ASEAN siap membantu. Kita juga menegaskan bahwa ASEAN bisa merespon melalui kerja sama bilateral dan peningkatan kerja sama,” kata Marty, bersama menlu Jepang dan ASEAN, setelah pertemuan tertutup sekitar satu jam.
Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan menjelaskan, Jepang dan ASEAN sudah memiliki hubungan erat sejak dulu, terutama dalam penanganan bencana. “Kita perlu berkoordinasi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Kita mendorong investasi, perdagangan, dan perjalanan antara Jepang dan ASEAN sehingga kondisi Jepang pulih,” katanya.
“Kita akan berdiri bersama, saat ini dan masa depan,” tegas Surin.
Menlu Jepang Takeaki Matsumoto bertekad akan menguatkan kerja sama dengan ASEAN. “Asean sangat penting bagi kami, baik sebagai kekuatan regional atau pun mitra dekat dalam penanggulangan bencana, perdagangan, dan lainnya,” tuturnya.
“Kami berterima kasih atas inisiatif Indonesia menggelar pertemuan yang menunjukkan kepedulian pada musibah yang sedang dialami bangsa kami,” kata Matsumoto.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri (kemlu) Jepang Satoru Sato menjelaskan, Menlu Jepang datang ke Jakarta kemarin pagi dan pulang pada malam harinya. “TUjuan utamanya ialah menghadiri koordinasi khusus untuk membahas tsunami di Jepang. Kami berterima kasih atas inisiatif Indonesia menggelar pertemuan ini,” katanya.
“Ada tiga poin utama yang kami tekankan, pertama, kami menyampaikan terima kasih atas simpati Indonesia dan ASEAN. Kedua, kami menjelaskan upaya-upaya Jepang dalam penangganan krisis di pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi. Ketiga, kami tegaskan kesungguhan Jepang menjadi mitra Asean, meski di tengha tantangan yang kami hadapi,” ujar Sato.
Sato menambahkan, saat ini banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, temasuk penyediaan pemukiman, suplai air bersih, aliran listrik, perbaikan jalan. Dia juga menjelaskan kemajuan yang ada dalam penanganan krisis nuklir di PLTN Fukushima. “Kami ungkapkan semua informasi secara transparan. Kami mengundang semua pakar, termasuk dari Badan Energi Nuklir Internasional (IAEA) untuk bantu penanganan masalah. Mereka bekerja sama dengan Jepang,” katanya. “Kami tempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas.”
Menurut Sato, bencana tsunami di Jepang sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Negeri Matahari Terbit. “Hanya 10% wilayah yang terkena tsunami, dengan kerugian bencana sebesar 16-25 triliun yen atau hanya 5% dari GDP,” tuturnya. Total GDP Jepang mencapai 500 triliun yen.
Sato juga menegaskan, Jepang mendukung Pusat Koordinasi untuk Bantuan Kemanusiaan ASEAN untuk Manajemen Bencana (AHA Center). Selain itu, JEpang juga mempertimbangkan untuk melanjutkan implementasi Latihan Pemulihan Bencana ARF (ARF-DiREx).
Dia menjelaskan, Jepang memahami kekhawatiran berbagai Negara tetangga atas krisis nuklir di negerinya. “Pemerintah Jepang memonitor setiap hari level radioaktif. Standar Jepang sangat ketat, bahkan lebih ketat daripada IAEA,” kata Sato.
Sato menegaskan, untuk menjamin keamanan pangan yang dieskpor, Jepang mengeluarkan Certificate of Origin untuk menjelaskan asal bahan pangan tersebut. Tapi Sato mengatakan bahwa pemerintah Jepang tidak dapat melakukan uji kadar radioaktif pada semua bahan makanan yang ekspor.
Terkait terdeteksinya radioaktif pada sayuran yang ditanam di Jepang, Sato mengatakan, “Pemerintah Jepang meminta maaf. Tapi level radioaktif itu masih sangat rendah atau aman bagi kesehatan manusia,” tuturnya.
Sato menjelaskan, Jepang memiliki ketergantungan terhadap energy nuklir sebesar 30% dari total kebutuhan energinya. Dengan adanya krisis nuklir, Jepang kini mempertimbangkan untuk memperbanyak sumber energy dari gas dan batubara. “Indonesia dan Negara-negara lain siap mengirimkan LNG dan batubara. Proses negosiasi masih berlangsung,” ungkapnya. (syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar